Perjalanan panjang menembus PPDB SMP 2019 di Bandung (Bagian 2)

perjalanan menembus ppdb smp 2019 bandung

Strategi meraih nilai UN tinggi

Jadi demikianlah, dari 5 opsi pilihan sekolah jenjang SMP, pilihan yang tersisa hanya 1. Berusaha menembus SMP negeri yang peluangnya hanya 44% itu.

Sedih sih sebenarnya melihat anak sepintar Raka sudah harus beresiko putus sekolah di jenjang SMP. Hanya karena pilihan sekolah yang terbatas.

Dulu saya dapat konsekuensi seperti ini saat lulus SMA, menjelang masuk Perguruan Tinggi. Pilihannya hanya Perguruan Tinggi Negeri atau tidak kuliah karena tidak ada biaya ke swasta. Lah, anakku kok sudah dapat opsi ini saat lulus SD.

Pemerintah, tolong dong... Jangan sampai anak-anak kekurangan sekolah seperti sekarang.

Sepertinya pertumbuhan sekolah negeri tidak seimbang dengan pertumbuhan penduduk. Jumlah SDN, SMPN, SMAN, mengerucut dengan jumlah yang signifikan.

Sedih kalau banyak anak-anak yang terpaksa harus putus sekolah di 3 jenjang pertama ini. Perlu dicatat, kalau masih banyak orang tua yang tidak memiliki kemampuan untuk bisa menyekolahkan anak di sekolah swasta dengan akreditasi baik.

Di Bandung ini tahun 2019 tercatat ada 274 SDN, 62 SMPN, 2 Mts, 27 SMAN, 18 SMKN, dan 2 MAN.

Dari data di Puspendik, jumlah lulusan jenjang SMP jalur negeri 19.300 siswa (total jumlah lulusan dengan sekolah swasta 38.500 siswa), sementara lulusan jenjang SMA negeri di angka 14.700 orang (total jumlah lulusan swasta 33.000 siswa).

Ada sekitar 5 ribu siswa yang terpaksa pindah ke jalur swasta atau bahkan berakhir dengan putus sekolah. Ini untuk kota Bandung saja.

Perlukah anak SD ikut Bimbel?

Setelah diputuskan untuk berjuang meraih nilai UN tinggi, maka langkah selanjutnya adalah apakah kami membutuhkan bimbingan belajar tambahan?

Kalau zaman saya sih, bimbel itu mainannya anak SMA yang berusaha menembus Perguruan Tinggi Negeri.

Jadi ingat masa-masa SMA di Karawang. Selama 6 bulan terakhir menjelang UMPTN, kami pulang sekolah naik bis Karawang-Jakarta untuk ikut Bimbingan Belajar Nurul Fikri seminggu 3 kali di Jakarta. Pergi saat pulang sekolah, dan sampai rumah lagi menjelang Isya.

Bimbel saat itu banyak membantu memberikan latihan tambahan dan strategi menghadapi ujian yang tidak diberikan guru di sekolah. Lumayan lah hasilnya bisa tembus ITB.

Cuma apa iya, anak SD beneran perlu bimbel? 

Selama  5 tahun di SD, setiap pulang sekolah sampai malam ya Raka biasanya main saja. Belajar di sekolah selama 7 jam sehari dari pukul 7 pagi hingga 2 siang rasanya sudah cukup.

Di rumah waktunya mengaplikasikan apa yang dipelajari di sekolah dalam kehidupan sehari-hari. Bentuknya ya bisa main sama teman di sekitar rumah, main game, ngobrol sama mama, atau sekedar nonton You Tube.

Hanya saja sekarang kan dalam rangka perlu nilai sempurna nih. Mungkin sudah waktunya perlu tambahan belajar lebih setidaknya 2 jam sehari lah. Pilihannya boleh ikut bimbel, les dengan guru atau mengerjakan soal-soal UN sendiri dari buku kumpulan soal.

Sebenarnya dari pihak guru di sekolah, Raka sangat disarankan untuk ikut bimbel. Bukan apa-apa, karena kelas Raka hanya terdiri dari 8 orang saja!

Menurut gurunya, Raka perlu merasakan persaingan di kelas yang lebih besar.

Saya juga melihat ini penting untuk bisa mengukur kemampuan Raka di skala kota Bandung. Posisi Raka seberapa sih ketika bersaing dengan anak-anak lain di skala yang lebih besar.

Ternyata bimbingan belajar itu mahal pake banget. Bisa mencapai 4-9 juta per tahun. Jauh juga jika dibandingkan dengan uang biaya tahunan sekolah Raka yang hanya 2 juta per tahun dan SPP 250 ribu per bulan.

Si Mama biasalah, langsung stress kalau lihat angka-angka berdigit banyak. Mana harus ada biaya transportasi lagi kalau ikut bimbel atau les dengan guru.

Pelit dan pemalas itu memang kombinasi yang mematikan.

Terlebih setelah sempat dapat cerita dari beberapa teman yang anaknya berhasil meraih nilai UN rerata 90-an tanpa bimbel. Cukup dengan belajar sendiri di rumah mengerjakan latihan soal saja.

Nah yang model begini nih yang Mama demen. Jadi kami putuskan tidak pakai bimbel atau pun guru les. Cukup dengan latihan soal sendiri saja dan rajin-rajin mengikuti Try Out.

Sempat kepikiran juga sih mencoba bimbingan belajar Ruang Guru yang iklannya si ganteng Dilan. Murah sih, tapi kok ya masih ragu dengan yang online-online gitu untuk bimbingan belajar.

Kalau ada opsi gratisan dulu 2 atau 3 kali pertemuan, mungkin berani lah nyoba. Tapi kalau harus langsung keluar setengah juta lebih, kok rasanya masih berat. Ehm, bisa jadi emang karena duitnya nggak ada juga. Ha...ha...

Hingga suatu hari di bulan Desember 2018. Si Mama ada rasa kurang percaya diri dan melihat faktanya sulit untuk memaksakan Raka mau rajin mengerjakan latihan soal. Raka maunya mengerjakan soal sama Mama.

Lah, si Mamanya ini banyak alasan. Sibuk ini itu lah sampai jadwal sosmed-an yang nggak bisa diganggu. Maafkan Mama Nak!

Expectacy-nya Raka mengerjakan 1 paket soal selama 2 jam setiap harinya. Nanti Mama akan cek jawabannya dan membahas hanya soal yang Raka salah menjawab saja.

Reality-nya, Raka dan Mama sama-sama malas buat konsisten.

Raka sih bilangnya dia agak bosan dengan soal-soal latihan UN. Karena materinya sudah begitu-begitu saja dan sudah sering dilatihkan di sekolah. Membosankan!

Tapi walau begitu, nilai latihan soal Raka nggak pernah bisa sempurna tanpa salah. Pasti aja ada salah 5-9 soal untuk setiap paketnya.

Sepertinya ini masalah konsentrasi juga. Berat sekali untuk anak-anak mampu berkonsentrasi selama 2 jam.

Raka biasa mengerjakan soal paket 35 soal Matematika selama 1 jam, 40 soal IPA selama 30 menit, dan 45 soal Bahasa Indonesia selama 30 menit. Padahal sebenarnya kan jatah waktu mengerjakan setiap paket soal itu kan 2 jam.

Kami pakai soal dari buku-buku kumpulan soal yang setebal bantal dan banyak dijual di toko-toko buku itu. Lumayan PR juga loh menemukan buku kumpulan soal yang paling sesuai dengan kebutuhan dari banyaknya pilihan buku yang tersedia.

buku latihan soal UN SD
3 buku utama latihan soal yang dipakai Raka. 

Di bulan Desember 2018, Si Mama pun iseng mencoba menelpon sebuah bimbel kondang di Bandung untuk sekedar menanyakan informasi.

Kita sebut saja namanya Ganesha Operation (GO). Sebuah bimbingan belajar dengan pengalaman 35 tahun sejak 1984. Memiliki 788 outlet dan tersebar di 270 kota lebih. Konon, anak-anak dengan nilai sempurna keluaran bimbingan belajar ini.

Memang GO mengeluarkan program untuk 4 bulan terakhir menjelang UN. Biayanya 4 juta untuk yang 2x per minggu dan 5 juta untuk yang 3x per minggu. Oh My….

Tapi ada juga kelas spesial untuk selera orang-orang irit kaya si Mama. Sebuah kelas yang khusus di buka di cabang Purnawarman Bandung. 1x seminggu setiap Sabtu saja. Durasinya hanya 1 jam per pertemuan (1 bulan terakhir 2 jam per pertemuan). Total pertemuan sebanyak 11 pertemuan ditambah 2x Try Out. Sekelas terdiri dari 15 anak. Biayanya 500 ribu rupiah saja.

Tahu aja nih Bimbel menangkap selera pasar orang-orang seperti Mama!

Saat nelpon itu, kami disarankan untuk mengikuti Try Out gratis di SMPN 40. Saat anak-anak ikut Try Out, orang tua dikasih seminar pendidikan dari GO.

Di sini mata saya benar-benar terbuka mengenai sistem PPDB kota Bandung. Kebetulan di acara itu saya berkesempatan ngobrol dengan sejumlah orang tua yang anak-anaknya sekolah di SD Negeri.

Wah ternyata anak-anak SD Negeri itu niat banget belajar menghadapi UN-nya. Sepanjang kelas 6, mereka sudah tidak lagi belajar materi kelas 6. Semua materi SD sudah dihabiskan di kelas 5. Kelas 6 mereka hanya fokus untuk menghadapi UN.

Ada jam tambahan di hari Sabtu untuk kelas persiapan UN ini. Belum lagi ikut Try Out - Try Out yang diadakan di banyak tempat. Orang tua kelas 6 bahkan memiliki iuran khusus untuk persiapan UN anak-anak mereka.

Asli ya NIAT!

Terus terang saya agak serem melihat gaya belajar anak-anak negeri ini. Duh, model begini nih yang akan jadi saingan Raka memperebutkan kursi negeri yang sangat sedikit itu.

Di sini saya jadi bisa melihat bedanya anak negeri dan swasta. Mungkin ini yang perlu menjadi alasan kita pilih negeri atau swasta?

Kita harus tahu dulu arah pendidikan anak-anak di masa depan maunya kemana? Apa memang mengejar sekolah murah meriah berkualitas bagus di negeri atau mengembangkan potensi bakat khusus anak di sekolah swasta?

Kalau memang budget tersedia, sekolah mahal tidak ada masalah. Yang berat adalah kalau budget terbatas. Persaingan sekolah murah meriah berkualitas bagus itu cukup berat. Peluangnya bisa jadi kecil dan sangat mungkin tidak fair. Puk...puk….puk….

Kembali ke pengalaman mengikuti Bimbingan Belajar. Raka sendiri selama 13 pertemuan kelas GO, tidak pernah sekalipun bolos. Terima kasih buat si Abah yang setiap Sabtu setia mengantar dan menunggu Raka di bimbel selama 1 sampai 2 jam.

Menurut Raka sih kelasnya asyik dan cara mengajar gurunya memang menarik. Ada cara-cara cepat yang diajarkan untuk mengerjakan soal. Plus dapat teman baru buat main game bareng. Duh tetep!

Kalau ditanya apa nanti di SMP mau ikut bimbel lagi dari kelas 1? Raka sih jawabnya, nanti aja lah pas kelas 9. Ok baiklah, mungkin Mama perlu mulai menabung dari sekarang.

Opsi menggunakan KK rumah nenek

Bagaimana dengan opsi menggunakan Kartu Keluarga (KK) rumah nenek? Ini opsi yang digunakan banyak orang. Menggunakan Kartu Keluarga rumah nenek untuk mengakali sistem zonasi.

Sebuah kebetulan, rumah nenek Raka berjarak hanya 950 meter ke SMPN 13, 1 km ke SMPN 34, dan 1,1 km ke SMPN 28. Tiga sekolah ini peringkatnya jauh lebih baik dibanding 2 sekolah di dekat kompleks kami.

Jarak dari rumah kami saat ini adalah 3,6 km ke SMPN 13, 3,7 km ke SMPN 34, dan 3,2 km ke SMPN 28.

Terus terang saat dapat tawaran dari Pak RT rumah nenek untuk mengurus pindah KK, kami sama sekali tidak tertarik. Selain karena saat itu opsinya kan masuk jalur akademis ke 5 SMPN favorit yang tidak pakai jarak, juga kebayang anehnya mengeluarkan anak dari KK resmi kami.

“Harta yang paling berharga adalah (Kartu) Keluarga,” terngiang lantuan suara BCL menyanyikan soundtrack Film Keluarga Cemara.

Sebuah tanda kependudukan yang menunjukkan kami adalah sebuah keluarga yang sudah mampu mandiri dan punya rumah sendiri.

Di situ juga melekat data BPJS, Asuransi-asuransi, dan dokumen penting lainnya. Masa iya hanya demi anak mau masuk SMP, kami harus mengakali KK. Masa iya sih anak jadi memiliki 2 KK? Ah kayanya nggak gitu-gitu amat sih mau masuk sekolah negeri.

Takut nggak berkah juga ah. Bagaimana pun, itu kan artinya mengambil jatah anak lain yang lebih berhak dan rumahnya memang berjarak lebih dekat ke sekolah tersebut.

Bukan nggak mungkin, hari ini kita mengambil jatah anak lain, di masa depan anak kita akan ketiban pulung dapat ketidakadilan yang lebih besar.

Ah sudahlah, opsi yang itu kami ikhlaskan biar diambil sama mereka yang memang benar benar benar benar membutuhkannya.

Duh mental sok alimnya keluar nih.

Masih mau lanjut nih dengar kejutan baru mengenai PPDB? Berhubung post ini sudah 1300 kata, kita lanjut lagi di postingan berikutnya ya.

Shanty Dewi Arifin
Shanty Dewi Arifin Mama yang sedang semangat belajar menulis demi bisa bayar zakat sendiri.

Posting Komentar untuk "Perjalanan panjang menembus PPDB SMP 2019 di Bandung (Bagian 2)"