Ketika Mama Masuk Rumah Sakit



Sudah pernah nonton film Bad Moms?

Bad Moms adalah sebuah film Komedi tahun 2016 yang dibintangi Mila Kunis. Berkisah tentang 3 mama yang bosan jadi mama baik, yang ternyata melelahkan fisik dan mental. Ada satu adegan kocak yang saya ingat ketika salah satu Mama bernama Kiki yang diperankan oleh Kirsten Bell mengimpikan bisa masuk rumah sakit sekedar untuk bisa istirahat dari mengasuh 4 buah hatinya. Ide masuk rumah sakit untuk istirahat langsung dipandang aneh oleh teman-temannya. That’s stupid idea!



Saya sendiri sejak 11 tahun berumah tangga, Alhamdulillah tidak pernah menginap di rumah sakit. Kecuali melahirkan untuk waktu sekitar 3 hari saja. Selama 11 tahun, saya bisa dibilang tidak pernah meninggalkan anak-anak saya seharipun. Pernah memang ditinggal salah satu anak selama beberapa hari, tapi saya tetap di rumah dengan suami dan anak yang lain. Intinya selama 11 tahun, rasanya saya belum pernah sendirian lebih dari 24 jam. Rasanya belum ada alasan saya untuk bisa benar-benar sendirian. Walau kadang menginginkannya.

Mimpi Kiki untuk masuk rumah sakit dalam film Bad Moms itu lumayan ada dalam pikiran saya. Apa jadinya kalau seorang Mama harus masuk rumah sakit? Siapa yang mengurus anak-anaknya yang selama ini selalu bergantung pada ibunya? Saya benar-benar nggak kebayang.

Pada Jumat, bertepatan dengan hari ke-2 Ramadhan lalu, saya merasa badan saya tiba-tiba lemas dan sangat tidak enak. Ditambah malamnya demam. Walau kurus kering kerontang, saya sangat jarang sakit. Tidak panas, tidak pusing, tidak flu. Masalah penyakit saya sebatas tidak nafsu makan saja dari dahulu kala. Makanya ketika tiba-tiba lemas dan demam, saya lumayan ketakutan. Khawatir terkena penyakit parah. Tapi saya tidak berani membayangkan kalau harus masuk rumah sakit.

Selama 3 hari panas dan lemas saya berlanjut. Baru pada hari Senin, kami ke dokter untuk tes darah. Saya merasa sangat lemas saat ke dokter, bahkan sempat hampir pingsan dalam tuntunan suami. Ternyata hasil tes darah menunjukkan saya positif kena typus dan DBD dengan trombosit berada di angka 125 ribu. Vonisnya harus masuk dirawat di rumah sakit.

Sempat sih meminta dokter untuk kemungkinan rawat jalan saja. Tapi kata dokter khawatir trombositnya menurun terus dan repot kalau harus tes darah ke rumah sakit setiap hari. Jadi baiklah, saya pun setuju dirawat di rumah sakit saja.

Kejadian juga!

Bagaimana dengan anak-anak? Siapa yang akan menyiapkan makan saur dan berbuka mereka? Siapa yang akan menjaga mereka? Mana ini masa ujian anak-anak dan pulangnya pukul 11 siang (kalau hari sekolah biasa pulang pukul 2 siang). Terus siapa yang akan menemani saya rumah sakit? Bagaimana dengan setrikaan?

Saya dan suami pun berpikir cepat. Keputusannya suami akan menemani anak-anak di rumah dan saya sendirian di rumah sakit. Suami akan datang setiap pagi sebelum ke kantor dan sore sepulang kantor untuk membantu saya mandi dan beberes hal tertentu. Saya sendiri memang rasanya tidak terlalu memerlukan teman di rumah sakit. Kalau sekedar ke kamar mandi, saya bisa melakukannya sendiri. Lagipula saya benar-benar memerlukan waktu untuk sendiri.

Saya merasa sangat semangat dengan ini semua. Itu yang bikin saya merasa langsung baikan begitu diputuskan harus dirawat di rumah sakit. Saya bisa istirahat total di sini! Tidak ada anak-anak, tidak urus masakan, tidak urus rumah. Its just me lying on my bed with a book. Oh my God! Dream come true. Mimpinya Kiki yang ditertawai teman-temannya tepatnya.

Jadi bagaimana rasanya istirahat di rumah sakit sendirian?

Hari pertama saya masih senang. Malam pertama saya tidak bisa tidur. Rasanya tidak nyaman tidur di rumah sakit itu. Makannya tidak enak, lampu yang terang, suara dari penghuni sebelah yang menggelegar, benar-benar nggak asyik. 

Bagaimana dengan kondisi badan saya? Rasanya baik-baik saja sih. Walau pusing dan demam, saya bisa berbaring seharian. Tidak perlu masuk dapur atau beberes rumah. Hanya baca dan baca saja. Kalau ngantuk tinggal tidur. Sayangnya saya kesulitan untuk tidur di 2 malam pertama.

Baru di malam ke-3 saya bisa tidur pulas. Setelah bisa tidur pulas ini, demam saya pun reda dan badan langsung terasa baikan. Ternyata hasil cek darah menunjukkan hasil yang membaik juga. Trombosit saya tidak turun lagi. Mentok di angka 95 ribu.

Salah satu yang paling tidak enak dari rumah sakit adalah makanannya. Saya tidak habis pikir mengapa rumah sakit memberikan makanan separah itu jika berharap pasiennya cepat sembuh. Mbok ya kasih makan yang rada enak dan menggugah selera gitu. Seperti bakso atau masakan Padang gitu loh. 





Lah ini dikasih bubur dingin tanpa rasa dalam piring kaleng. Saya itu begitu dengar troli makan masuk ruangan aja langsung eneg. Akhirnya saya makan sekedarnya dan mengandalkan roti yang dibawa suami. Kalau dipaksakan makan makanan itu, rasanya mau muntah. 

Baru pada hari ke-4 ada makanan yang rada layak diberikan. Semangkuk bubur ayam dalam piring kaca seperti yang biasa saya makan di rumah. Bubur itu sebenarnya enak. Saya biasa makan bubur ayam. Cuma kok ya yang di rumah sakit ini tampak sangat parah. Kecuali bubur yang disajikan di hari ke-4 itu. Hanya makanan yang ini yang bisa saya habiskan licin tandas.

Sempat ada kuisioner tentang makanan rumah sakit yang harus saya isi. Di situ ditanyakan mengenai kualitas setiap makanan yang disajikan. Langsung saya kasih angka 1 dari 5, alias sangat parah. Cuma nggak tahu juga sih, saya nggak suka makanan rumah sakit ini karena saya lagi sakit saja, atau memang makanannya yang parah. Akibat nggak makan ini, saya sukses turun berat badan 2 kg selama 5 hari di rumah sakit. Begitu pulang, yang saya lakukan adalah masak nasi dan makan normal.



Bagaimana dengan makan anak-anak?

Alhamdulillah makan anak-anak sempat dibuatkan dari Eninnya. Eninnya menemani 1 malam di rumah untuk memasakkan makanan kesukaan anak-anak. Selanjutnya mereka beli makanan jadi, masak mie, telur atau sayur rebus dengan bakso. Pokoknya mereka bisa bertahan 5 hari makan saur dan berbuka dengan layak. Tidak ada yang bolong puasanya.

Di rumah sakit tidak perlu ditemani

Sebelum masuk rumah sakit, saya sempat bertanya ke dokternya, “Apakah boleh saya sendirian tanpa ditemani kalau di rawat? Karena saya punya anak kecil yang tidak bisa ditinggal.” 

Ternyata kata dokternya bisa dan boleh saja. Sebelumnya saya tahunya kalau orang sakit itu harus selalu ditemani di rumah sakit. Walau saya juga bingung gunanya untuk apa? Saya nggak kebayang suami saya bengong seharian menemani saya. Nggak tega rasanya membayangkan suami harus tidur di lantai atau sambil duduk di kursi. Wah bisa ikutan sakit dia nanti. Mending tidur nyaman di rumah sama anak-anak. Saya pun bisa tidur sendiri dengan tenang di sini.

Emangnya nggak perlu dibantu ke kamar mandi? 

Kalau saya sih tidak merasa selemas itu. Saya masih bisa jalan biasa sambil membawa infus. Sebelumnya infusnya dimatikan dulu. Baru setelah selesai dari kamar mandi, saya tinggal memanggil perawat untuk mengatur lagi infusnya. Saya sih nggak repot. Yang repot perawatnya yang bolak-balik saya panggil karena saya bolak-balik ke kamar mandi. Sempat karena malas memanggil perawat, sengaja infusnya tidak saya matikan. Biarkan saja berjalan, hanya lebih hati-hati menjaga agar infus selalu berada di atas posisi tangan. Tapi kadang karena banyak gerak, ada saatnya darah naik. Jadi sebenarnya lebih aman, infusnya dimatikan saja kalau ke kamar mandi. Sabar aja kalau perawatnya rada kesel dipanggil bolak-balik.

Soal perawat ini, sempat bikin saya agak marah juga. Ada perawat yang menyuruh untuk selalu mematikan infus kalau ke toilet dan tidak masalah kalau dipanggil bolak-balik jika dibutuhkan. Tapi ada perawat yang kesal karena dipanggil bolak-balik untuk mengatur infus. Repotnya, saya nggak bisa hapal mana perawat yang rajin dan mana yang tidak. Kalau saya bisa ingat, kan saya atur saja kalau hanya mematikan infus saat ketemu perawat yang rajin. Kalau dapat yang pemalas, infusnya tidak perlu dimatikan saat ke kamar mandi.

Apakah benar-benar tidak perlu bantuan selama di rumah sakit? 

Ada juga sih perlunya. Saya perlu suami setiap pagi untuk tolong membawakan air seka ke kamar mandi dan membantu melepas infus dari tangan baju yang agak kecil. Juga memegangkan infus saat akan mencuci muka dan menggosok gigi di wastafel. Selain itu saya juga perlu suami untuk mengambilkan air minum untuk minum seharian. Cukup itu saja sih. Sisanya bisa sendiri.

Ketika diputuskan masuk rumah sakit, saya tidak membawa baju satu pun. Jadi suami sempat pulang dulu dan mengambil beberapa baju saja. Setelah di infus di rumah sakit, saya baru sadar, bahwa saya tidak punya baju bukaan depan dan tangannya terlalu sempit. Jadi sulit untuk mengganti baju dengan infus di tangan. Akhirnya minta sumbangan baju kancing depan dari Mama dan Mama mertua. Untung ada.

Selama di rumah sakit, baju-baju saya dibawa pulang setiap hari oleh suami dan dicucikan. Hore, akhirnya suamiku belajar mencuci dan menjemur juga.

Di rumah sakit ditemani Al Hikam

Selama di rumah sakit, saya agak kesulitan untuk menulis dalam kondisi berbaring. Jadi saya memilih membaca saja. Buku yang saya bawa untuk menemani sakit ini adalah Al Hikamnya Ibnu Athahillah. 

Sebenarnya selama minggu terakhir saya sedang baca buku ini, tapi susah sekali pahamnya. Hanya dibolak-balik sambil tidak mengerti juga. Saat diputuskan dirawat, saya minta suami membawakan buku Al Hikam ini. Kepikir juga sih untuk membawa buku lain yang lebih ringan, tapi akhirnya saya putuskan untuk membaca Al Hikam saja. Masih penasaran mengapa saya tidak paham juga buku ini. Siapa tahu dalam keheningan rumah sakit, saya bisa lebih konsentrasi dalam membacanya.

Ternyata benar loh. Ini buku yang sangat tepat untuk orang sakit. Satu demi satu hikmah dari Al Hikam ini membantu saya relaks dan lebih mendekatkan diri pada Allah dalam kondisi sakit. Nanti ya saya review buku ini secara khusus di blog sebelah. Pokoknya kalau sakit, saya sangat merekomendasikan buku ini untuk dibaca.

Al Hikam membantu untuk membuat kita relax dan pasrah pada Allah. Menerima kondisi sakit sebagai bentuk kedekatan kepada Allah. Bahkan kita diminta untuk tidak meminta cepat sembuh, karena itu seperti mendikte Tuhan yang maha tahu dengan kebutuhan tubuh kita. Saya ingat sekali, saya berhenti baca Al Hikam di bagian yang menyebutkan sebaiknya tidak meminta cepat sembuh ini. Duh, gimana ceritanya saya bisa tidak berdoa untuk minta cepat sembuh. Baru saya lanjutkan lagi baca Al Hikam setelah di rumah dan sudah sembuh. Benar-benar sebuah buku yang luar biasa.

Kunjungan ke rumah sakit

Di hari pertama saya di rumah sakit, saya merasa sangat terganggu dengan kunjungan rekan-rekan pasien sebelah saya. Mereka ribut luar biasa. Saya yang lagi sakit-sakitnya rasanya kesal sekali mendengar keributan itu. Kok ya nggak ada etikanya mengunjungi orang di rumah sakit tapi dengan suara sekencang itu. Serasa itu rumah mereka sendiri. Hello, di sini ada banyak orang yang terkapar dan perlu istirahat loh.

Sampai tiba di hari kedua. Saya pun mulai dikunjungi teman-teman. Ada ibu-ibu dari sekolah, guru anak-anak, tetangga, hingga saudara. Ada yang ngomongnya pelan-pelan, ada yang lupa diri dan ketawa keras-keras. Persis seperti rekan-rekan pasien sebelah yang mengganggu saya kemarin. Duh! Ternyata sekarang giliran saya yang mengganggu orang lain.




Saya sendiri sebenarnya jarang sekali punya kesempatan mengunjungi teman yang sakit. Seringnya karena tidak sempat. Sebenarnya dikunjungi saat sakit itu menyenangkan. Lumayan untuk mengatasi kebosanan sendirian. Yang tidak enak itu jika kita mengganggu pasien lain yang tengah berusaha istirahat. Mungkin itu perlunya untuk menjaga jumlah kunjungan pasien. Kalau bisa yang masuk ke ruang pasien itu tidak terlalu banyak. Terutama jika mendapat kelas yang ditempati bersama pasien lain. Kalau dapat kelas yang sendirian, mungkin tidak ada masalah kalau dikunjungi sekompi orang sekaligus. Karena tidak akan mengganggu orang lain.

Saya sendiri sempat terpikir apa perlu pindah ke ruang yang sendirian atau berdua. Kalau sendirian kayanya saya takut. Tapi kalau berdua, saya tetap punya resiko bertemu orang yang super ribut. Akhirnya saya pasrah menikmati ruang kelas 3 yang tersedia.

Salah satu yang saya rindukan tentunya anak-anak. Aduh kangennya untuk mencium wajah halus Sasya atau memegang rambut lembut Raka. Saya terakhir ketemua anak-anak di hari Senin pagi sebelum mereka sekolah. Anak-anak tidak boleh masuk ke ruang perawatan. Akhirnya saya hanya bisa video call saja dengan anak-anak. 

Baru pada hari ke-4 saya dapat kesempatan ketemu anak-anak di depan ruang perawatan. Kebetulan saat itu Sasya perlu kontrol ke dokter gigi. Saya minta ijin ke perawat untuk keluar sebentar menemui anak-anak. Untung diijinkan, walau sambil duduk di kursi roda. Kebetulan ruang perawatan saya letaknya cukup dekat dengan batas gerbang dimana anak-anak boleh masuk. Senang sekali rasanya bisa memeluk mereka lagi setelah 4 hari tidak bertemu. Dan mereka baik-baik saja tuh tanpa Mamanya.



Bagaimana dengan biaya?

Kalau urusan biaya kami menggunakan asuransi kesehatan. Kami sekeluarga punya 2 asuransi kesehatan. Yang pertama asuransi swasta FWD dan BPJS. Saya biasanya menggunakan asuransi FWD untuk rawat jalan karena tidak perlu repot ke puskesmas sebelumnya dan bisa langsung berobat tanpa biaya. Sedangkan BPJS rencananya akan kami gunakan untuk rawat inap atau penyakit yang lebih serius. Terakhir saya menggunakan BPJS untuk operasi gigi.

Ketika ke rumah sakit pada hari Senin itu, kami menggunakan asuransi FWD. Setelah diputuskan harus rawat inap, kami sempat berpikir ingin menggunakan asuransi BPJS saja. Tapi pihak rumah sakit menyarankan pakai FWD saja biar tidak perlu meminta rujukan ke puskesmas lagi. Ternyata kalau pakai FWD, jatah kami dapatnya kelas 3. Kalau pakai BPJS kelas 1. Tapi ya sudahlah, yang penting masuk ruangan dan dirawat saja dulu. Tidak masalah di kelas berapa pun.

Biaya perawatan selama 5 hari itu sekitar 3 juta rupiah. Alhamdulillah full ditanggung asuransi. Eh ada selisih sekitar 100 ribuan lah yang harus ditanggung sendiri. Di sini terasa sekali gunanya punya asuransi kala sakit. Kita jadi bisa fokus hanya ke masalah kesehatan dan tidak dipusingkan oleh beban biaya kesehatan.

Selama 5 hari di rumah sakit membuktikan kalau suami dan anak-anak ternyata bisa mandiri juga. Saya pun bisa istirahat total dari pekerjaan rumah. Tapi sebenarnya, kalau seorang Mama memang ingin istirahat dari pekerjaan rumah, mending bilang saja baik-baik. Tidak perlu menunggu sakit. Istirahat 2-3 hari dari pekerjaan rumah tangga dan melatih keluarga untuk mandiri itu menurut saya cukup baik untuk kesehatan mental keluarga. 

Tidak perlu menunggu Mama sakit dan harus masuk rumah sakit jika sekedar ingin istirahat.
Shanty Dewi Arifin
Shanty Dewi Arifin Mama yang sedang semangat belajar menulis demi bisa bayar zakat sendiri.

1 komentar untuk "Ketika Mama Masuk Rumah Sakit"

Comment Author Avatar
Biasanya memang rumah sakit makanannya pas perawatan hambar rasanya, pas mau pulang ke rumah baru rada enakan. Temen bilang memang kan pas lagi dirawat, bumbu2 yg dimasukkan gak sebanyak kalo kita masak dirumah, supaya mengantisipasi zat berbahaya yg masuk ke pasien. Dulu saya pas masuk RS buat operasi amandel wajah jerawatan parah, 7 hari di RS dengan masakan hambar, sayur gak ada rasa, pas pulang baru terasa nikmat. Dan ketika sampe rumah terus ngaca, weleh wajah yg jerawatan jadi mulus hahaha... mungkin efek makanan rumah sakit yg hambar itu ya