Perjalanan panjang menembus PPDB SMP 2019 di Bandung (Bagian 1)

Usaha memperebutkan sedikit kursi di sekolah negeri, benar-benar bisa menguras emosi setiap keluarga yang anaknya tengah berada di kelas 6, 9, dan 12.

Apakah putra-putri kita tercinta bisa tembus ke sekolah murah meriah yang disediakan pemerintah? Atau kita perlu mengeluarkan dana besar untuk bisa duduk manis di sekolah swasta?

Pengalaman kami selama 1 tahun terakhir rasanya sayang jika tidak direkam dalam bentuk tulisan di blog tercinta ini. Siapa tahu bisa menjadi bahan pertimbangan bagi teman-teman yang membutuhkan informasi mengenai PPDB SMP di Bandung.

Untuk urusan PPDB atau Penerimaan Peserta Didik Baru, kami sendiri sudah mulai mempersiapkan sejak awal masuk kelas 6.

Dari beberapa teman, ternyata ada yang bilang ini sudah agak terlambat. Mereka sudah mempersiapkan PPDB dari sejak anak di kelas 4 SD. Mulai dari ikut bimbingan belajar, les tambahan, hingga urusan menabung.

What? Serius? Lah, diriku buku kelas 4 Raka saja udah pada diloakin dan tabungan masih minus. Tapi sudahlah, dijadikan bahan pelajaran saja buat adiknya yang baru naik kelas 3 tahun ini.

Menelaah pilihan sekolah 

Pertanyaan pertama yang perlu dijawab adalah apakah opsi yang bisa kami tempuh agar Raka bisa melanjutkan pendidikan di jenjang SMP? Pilihannya adalah SMP negeri, SMP swasta, Madrasah, Pesantren, atau bahkan Homeschooling.

#1 SMP Negeri

Ini adalah opsi sejuta umat. Dari segi biaya, sekolah negeri memang pilihan yang paling optimal. Faktanya kursi sekolah negeri ini sangat sedikit.

Menurut data dari Disdik kota Bandung, lulusan SD tahun 2019 sejumlah 38 ribu orang. Sementara bangku SMP Negeri yang tersedia hanya 17 ribu kursi saja saudara-saudara.

Hanya 44% saja lulusan SD yang bisa ditampung di negeri. Kurang dari setengahnya!

Menurut cerita tetangga, PPDB SMP tahun 2018 adalah benar-benar mimpi buruk. Karena 90% kuota yang diterima hanya berdasarkan jarak radius rumah ke sekolah. Nilai UN anak sama sekali tidak dilihat.

Ada 2 SMPN terdekat dari kompleks kami yaitu SMPN 37 dan SMPN 30. Pada tahun 2018, SMPN 37 hanya menerima siswa dengan jarak terjauh 589 meter dan SMPN 30 dengan jarak 986 meter saja!

Data jarak terjauh PPDB SMP 2018 bisa dilihat dari tabel dibawah yang saya ambil dari blog teman saya www.trianiretno.com. Nuhun Eno, sudah dengan rajinnya merekap data online yang sangat penting ini.

Sumber: www.trianiretno.com


Itu artinya, rumah kami yang jaraknya 900 meter ke SMPN 37 dan 1,1 km ke SMPN 30 harus melambaikan bendera putih.

Jadi bagaimana? Menyerah saja nih masuk sekolah negeri?

Eits, jangan dulu. Ternyata ada celah keren untuk kota Bandung. Ada 5 sekolah yang tidak terikat aturan 90% zonasi.

Karena pertimbangan LOKASI SEKOLAH DILUAR PEMUKIMAN PERMANEN, maka SMPN 2, SMPN 5, SMPN 7, SMPN 14, dan SMPN 44 punya jalur yang namanya jalur akademis. 4 sekolah pertama adalah sekolah favorit di Bandung.

Kuota jalur ini 40%. Seleksinya hanya mempertimbangkan pembobotan nilai UN dan rata-rata rapor 3 tahun terakhir. TANPA MELIHAT JARAK RUMAH-SEKOLAH.

Benar-benar secercah harapan buat kami-kami yang rumahnya jauh dari sekolah negeri terdekat.

Untuk bisa menembus jalur ini, amannya sih punya nilai UN rerata 93 ke atas untuk 3 pelajaran (Matematika, IPA, dan Bahasa Indonesia) dengan skala 100. Kalau cuma 90 saja masih kurang kalau berdasarkan pengalaman tahun 2018.

Ayo Nak, Ganbatte Kudasai!!!

Sedikit catatan yang ingin saya simpan di sini adalah mengenai data PPDB tahun 2017. Karena menurut saya, sistem tahun 2017 cukup ideal.

Untuk semua SMPN berlaku kuota 60% jalur akademis dalam daerah, 10% jalur akademis luar daerah, RMP 20%, Prestasi 5% dan Jalur Undang-undang (anak guru, pindahan, dan lainnya) 5%.

Untuk jalur akademis, pembobotannya adalah 30% rerata rapor + 30% nilai UN + 40% skor jarak. Menurut saya, penting juga lah melihat rerata rapor 3 tahun terakhir disamping nilai 1 kali ujian saja.

Yang jeleknya skor jarak berada di rentang 100 meter. Setiap 100 meter point berkurang 0,5. Kan signifikan beda poinnya anak yang rumahnya berbeda 500 meter saja.

#2 SMP swasta

Mari kita lanjut dengan opsi kedua. Kriteria kami untuk SMP swasta adalah biaya terjangkau, lokasi tidak jauh, dan kualitas lulusannya cukup baik (minimal bisa dilihat dari rerata hasil UN lulusannya).

Dari segi biaya, beberapa sekolah yang kami lirik termurah berada di angka 10 jutaan. Yang agak bagusan dikit berada di rentang pertengahan belasan juta. Yang agak masuk di hati kok yang di 30-an juta.

Untuk lokasi juga tidak ada yang benar-benar dekat. Kepinginnya sih ada sekolah yang masih bisa dijangkau dengan naik sepeda saja biar bisa hemat ongkos.

Salah satu SMP swasta terdekat, biaya ongkos ojek online-nya sekali jalan 10 ribu-an. Sebuah sekolah yang baru membuka angkatan ke-3 untuk tahun ajaran 2019/2020 dan harga biaya masuknya 29 juta. Hiks… coret!

Bagaimana dengan kualitas lulusan sekolah swasta?

Dari data di website Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik) Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, kita bisa melihat rerata nilai UN dari semua sekolah Negeri dan Swasta di kota Bandung sejak tahun 2015 hingga sekarang. Bahkan lengkap dengan materi UN dan kemampuan siswa menjawabnya. Asli TOP banget lah data ini.

Terbukti, kalau sekolah swasta memang masih memiliki rerata nilai UN yang jauh lebih tinggi dibanding SMPN favorit di Bandung.

Data tahun 2019, rerata nilai UN SMPK 1 BPK Penabur, SMPK BPK Penabur Singgasana, SMPK BPK Penabur Banda, SMP Salman, SMP Darul Hikam, SMPK Trimulia, SMP Aloysius 1, masih di atas rerata nilai UN SMPN 5 Bandung yang hanya 85,3 saja.

Belum lagi masih ada deretan selusin SMP swasta lain yang nilai rerata lulusannya benar-benar bagus dan berada jauh di atas umumnya SMP negeri. Harus diakui, lulusan swasta memang banyak yang lebih unggul.

Saya sebenarnya tidak mau mengandalkan nilai UN untuk menilai kualitas lulusan sebuah sekolah. Tapi sementara ini, data itu setidaknya menjadi indikator cara guru mengajar dan memberikan pemahaman kepada para siswa di sekolah.

Cuma, semua kembali ke kriteria 1 mengenai biaya. Harga swasta bagus ini benar-benar out of our budget. Maklum, si Mama ini bukan lah orang yang pandai menabung dan tidak sombong.

Setelah 3 kriteria sekolah swasta tidak bisa berhasil menemukan 1 sekolah pun, maka alternatif sekolah swasta menjadi dihapus dari pilihan kami.

#3 Madrasah Tsanawiyah

Ada 2 sekolah MTs Negeri yang bisa dilirik di Bandung ini. Dari segi kualitas lulusan, sekolah ini lumayan lah.

Untuk melanjutkannya pun ada opsi ke Madrasah Aliyah. Apalagi sekarang ada MAN Insan Cendikia yang keren banget itu.

Gara-gara prestasi sekolah yang digagas Pak Habibie ini, sekolah agama tiba-tiba terlihat lebih seksi dari sebelumnya.

Yang menarik dari MTs adalah sistem seleksinya yang tidak berdasarkan nilai UN. Melainkan ada tes khusus sebelum nilai UN keluar dan melihat nilai rapor. Buat Raka yang sebelumnya sekolah di SD Islam, pilihan ini bisa sangat bagus.

Hanya ada 2 pertimbangan yang membuat kami nggak bisa mengambil opsi ini. Raka lebih memilih SMP negeri dan lokasi sekolah yang agak jauh.

#4 Pesantren

Mengirimkan anak ke pesantren untuk mondok sebenarnya adalah pilihan yang berat untuk saya.

Padahal dari segi biaya, pilihan ini bisa sangat menarik. Cukup membayar sejumlah uang, kita tinggal berdoa semoga anak kita diurus sepenuhnya di pondok selama 24 jam sehari.

Tidak perlu pusing dengan makannya setiap hari, ongkosnya, cuci setrika pakaiannya, sampai ke nakal-nakalnya. Tinggal ketemu sekali sebulan bagian seneng-senengnya aja. Ehm…. kayanya enak juga.

Tapi entah kenapa, saya kok ya masih kepingin mendampingi anak di masa akil baligh. Kalau mau keluar rumah, nanti saja setelah akil baligh atau setelah lulus SMP.

Ternyata Raka juga sehati. Dia masih belum bosan dekat dengan mamanya dan masih ingin main game di rumah.

#5 Homeschooling

Pengaruh punya banyak teman yang anaknya homeschooling dan baik-baik saja, opsi ini sangat saya minati. Sayangnya opsi ini sangat ditentang oleh si Abah dan Raka.

Kalau si Abah pertimbangannya sekolah itu tetap membutuhkan tenaga profesional yang sudah berpengalaman bertahun-tahun. Agak sulit kalau mengandalkan orang tua. Apalagi orang tua kaya si Mama yang angin-anginan dan tidak disiplin.

Sementara Raka walau diiming-imingi boleh main game seharian kalau homeschooling, tetap nggak mau homeschooling. Dia bilang dia masih kepengen sekolah formal dan punya teman-teman. Ok baiklah.

Dengan skor 2:1, si Mama pun mengaku kalah dengan opsi homeschooling ini.


Berhubung tulisan ini sudah 1200 kata, kita lanjutkan cerita mengenai Strategi meraih nilai UN tinggi di postingan selanjutnya ya.

Shanty Dewi Arifin
Shanty Dewi Arifin Mama yang sedang semangat belajar menulis demi bisa bayar zakat sendiri.

3 komentar untuk "Perjalanan panjang menembus PPDB SMP 2019 di Bandung (Bagian 1)"

Comment Author Avatar
Siap membaca tulisan berikutnya..

Agak was was dgn kebijakan ini.
Comment Author Avatar
Nggak nulis soal ini Dian? Pengen dengar pendapat pihak bimbel soal PPDB dengan sistem zonasi seperti ini.
Comment Author Avatar
cerita tentang PPDB SMA ada?