Menikmati Filosofi Kopi Bersama Secangkir Kopi Saset

 

review filosofi kopi

Pengakuan dulu ya. Saya adalah peminum teh. Bukan kopi. Buat saya, teh itu kesannya lebih ringan dan mudah membuatnya. Sementara kopi itu gelap, berat, dan rumit. 

Coba ya buat para peminum kopi jangan langsung ngambek. Tapi boleh sih, kalau mau pergi sebentar buat nyeduh kopi. Karena sekarang saya mau bagi-bagi cerita tentang kopi. Mumpung ada Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Oktober dengan tema Mamah dan Kopi. 

Walau saya bukan peminum kopi, tapi di rumah kami perlengkapan untuk membuat kopi yang ‘rumit’ itu cukup lengkap. Ini semua koleksi suami saya. Saya suka melihatnya meracik kopi dari biji kopi hingga akhirnya kopinya diseduh.

Tapi pas nyicip…. Duh saya tetap balik ke teh aja deh.

Lantas mau cerita apa tentang kopi kalau tidak suka minum kopi?

Tentang Filosofi Kopi Dee Lestari

Saya mau berbagi cerita mengenai cerpen Dee Lestari yang diterbitkan dalam buku keempatnya pada tahun 2006 berjudul Filosofi Kopi. 

filosofi kopi dee lestari

Berhubung ini cerita lama, nggak apa-apa ya ada banyak spoiler dalam tulisan ini. Percaya deh, cerita yang beneran bagus, akan tetap menarik walau kita sudah tahu plotnya.

Walau terbit setelah Dee Lestari mengeluarkan Supernova 1, 2, dan 3, cerpen Filosofi Kopi dibuat pada tahun 1996. Lima tahun sebelum Supernova pertama terbit. Saat usia Dee baru 20 tahun. 

Cerpen Filosofi Kopi bercerita tentang persahabatan Ben dan Jody yang memiliki kedai kopi. Awalnya namanya Kedai Koffie Ben dan Jody. Lalu kemudian diubah menjadi Filosofi Kopi. Ben sebagai barista yang sudah keliling dunia untuk belajar membuat kopi dan Jody yang tidak tahu apa-apa soal kopi mengurus bagian keuangan dan bisnisnya. 

Pada suatu hari oleh salah seorang pengunjung kedai, Ben ditawari imbalan 50 juta jika ia mampu membuat racikan kopi yang rasanya paling sempurna. Tantangan model begini, langsung dong bikin adrenalin Ben terpacu. Jody juga semangat karena sudah membayangkan pengembangan bisnis yang bisa dilakukan dengan uang 50 juta.

Setelah bekerja keras 2 minggu, Ben akhirnya berhasil membuat racikan kopi yang ueanak banget! Ia menamakannya Ben’s Perfecto.

Ben's perfecto filosofi kopi

Ben sukses dapat cek 50 jutanya, dan cafe mereka semakin ramai karena banyak orang yang ingin mencicipi kenikmatan Ben’s Perfecto. Wah jumawa banget lah si Ben karena merasa bisa bikin kopi paling enak di dunia. 

Sampai suatu hari, ada pelanggan lain yang bilang Ben's Perfecto B aja. Bahwa ia pernah merasakan kopi lain yang lebih enak. 

Deg! Tersinggung dong Ben. Udah kaya anaknya dibilang jelek sama orang lain. Ibu mana yang nggak akan tersinggung coba. 

Ia pun memaksa Jody untuk mencari kopi yang dibilang paling enak tersebut. Nggak tanggung-tanggung, ternyata kopi yang dibilang lebih enak tersebut adanya di Klaten, Jawa Tengah. 

Apakah ini kopi di cafe keren dari biji kopi pilihan dan pengolahan yang super canggih?

Bukan saudara-saudara.

Ternyata hanyalah warung kopi sederhana di desa kecil milik Pak Seno. Namanya Kopi Tiwus. Harga gorengan sebagai teman minum kopi harganya 50 perak, sementara kopinya sendiri gratis. Beda kelas banget dengan Ben’s Perfecto yang dijual Ben dan Jody di Kedai Filosofi Kopi. 

Ben jadi terpukul setelah tahu memang Kopi Tiwus yang bijinya ditanam sendiri oleh Pak Seno di kebunnya lebih enak. Padahal hanya diseduh biasa tanpa alat yang aneh-aneh. 

Ben pundung dan memilih berhenti meracik kopi. Ia meminta Jody untuk memberikan cek 50 juta itu untuk Pak Seno saja. Nggak mau lah Jody. Mereka pun ribut. Filosofi Kopi tutup. 

Tapi berkat Kopi Tiwus, persahabatan keduanya bisa kembali utuh lagi. 

Bagaimana dengan Film Filosofi Kopi?

Duh saya kemana aja nggak nonton film ini dari dulu. Bagus banget adaptasinya. Nggak plek ketiplek sama dengan novelnya. Dialog antara Ben dan Jody juga terasa natural. Walau bertaburan bahasa-bahasa yang ya….gitu deh. Nggak tega saya nulisnya di sini.

poster film filosofi kopi

Tapi saya jadi lebih mencintai karakter Ben yang diperankan oleh Chicco Jericho dan Jody oleh Rio Dewanto. Belum lagi ditambah bintang-bintang lain seperti Julie Estelle sebagai El, gadis ahli kopi yang mengenalkan Kopi Tiwus. Ada juga Slamet Rahardjo dan Jajang C. Noer sebagai Pak dan Bu Seno. 

Film kedua produksi Visinema Picture ini (Film pertama mereka adalah Cahaya dari Timur: Beta Maluku), memang benar-benar digarap dengan serius oleh Angga Dwimas Sasongko. Jadi wajar saja kalau film ini memenangkan banyak penghargaan bergengsi. 

Bahkan memenangkan 2 piala citra untuk kategori Penulis Skenario Terbaik (Jenny Jusuf) dan Penyunting Gambar Terbaik (Ahsan Adrian)

Pantesan dialognya terasa enak banget. Lah menang Piala Citra gitu loh. Jenny Jusuf memang jaminan mutu. Padahal tau nggak, kalau beberapa tahun sebelumnya Jenny Jusuf itu sempat pada posisi terpuruk banget karena pertunangannya yang gagal, pindah ke Bali yang jauh dari Jakarta, nggak tahu akan bisa buat skenario lagi atau nggak. 

Tapi siapa sangka, nasib berubah saat ia memilih untuk menulis script Filosofi Kopi ini. Dari Filosofi Kopi, Jenny Jusuf mendapatkan 3 penghargaan bergengsi. Sesuatu yang menjamin job terus mengalir untuknya. 

Apa yang berbeda antara Cerpen dan Film Filosofi Kopi?

Dalam film, kita diajak mengenal Ben dan Jody dengan lebih baik. Bahwa Ben & Jody sebenarnya sudah bersahabat dari kecil. Ayah Ben sebenarnya adalah petani kopi yang kebunnya digusur paksa oleh pengusaha kelapa sawit. Ibunya sampai meninggal karena masalah itu. 

Hal itu membuat bapaknya menjadi pemarah dan hubungan Ben dengan bapaknya jadi putus. Ben tinggal dan disekolahkan oleh orang tua Jody. Nggak dibahas bagaimana ceritanya mereka berdua bisa ketemu.

Jody sendiri latar belakangnya adalah keluarga Cina. Ia mendapat warisan toko kelontong dari ayahnya sekaligus hutang-hutang ayahnya yang besarnya sampai 800 juta. Toko kelontong ini yang kemudian diubah menjadi Kedai Filosofi Kopi. 

Kalau dalam cerpen hadiah tantangan hanya 50 juta, di film tantangan itu dinaikkan menjadi 100 juta. Nah ini lebih masuk akal lah ya. Tapi tetap saja rasanya kurang. Jadi Ben nantang balik ke si penantangnya untuk membayar 1M jika ia memang bisa buat kopi terenak. Kalau gagal, ia yang akan memberikan 1M kepada si penantang. 

Ok, gila banget kan!!!

Tinggal Jody yang ngamuk-ngamuk. “Ben, kita ikut tantangan buat bayar utang, bukan mau nambah utang jadi 1,8M!” 

Tapi Ben sangat percaya diri. Ia meminta Jody tidak menolak permintaannya untuk membeli beberapa biji kopi mahal di pelelangan kopi. Di pelelangan kopi ini lah mereka bertemu ahli kopi gadis Prancis yang cantik bernama El (diperankan oleh Julie Estelle). 

Ketika akhirnya berhasil meramu Ben’s Perfecto seperti di cerpen, kedai Filosofi Kopi langsung kedatangan banyak pelanggan. Jody senang sekali karena masalah finansial mereka menjadi sedikit longgar. 

Sayangnya saat El mencicipi Ben’s Perfecto, sebagai ahli kopi ia mengatakan bahwa ia pernah minum kopi yang lebih enak. 

Di sini Ben langsung ngambek. Jody juga panik karena ngerasa bakal kalah taruhan dan harus mengeluarkan uang 1,8 M. Jody mencoba merayu Ben untuk mencari kopi yang disebut El lebih enak itu. 

Setelah diancam dan dirayu, akhirnya Ben bersedia juga pergi ber-3 mengunjungi kedai kopi Pak Seno. Di kedai itu, Ben masih ngasih tampang jutek. Ia meminta diperlihatkan proses pembuatan kopi tiwus dari saat biji dipetik di pohon, digoreng, dihaluskan, hingga diseduh oleh Pak dan Bu Seno. 

Selama proses itu, Ben jadi teringat masa-masa ia di kebun teh bersama ayahnya. 

Jody pun membeli biji Kopi Tiwus dari Pak Seno untuk diramu oleh Ben di Filosofi Kopi. Saat menghadapi penantang, Ben memberikan racikan Kopi Tiwus. Mereka mendapatkan 1M tersebut. Jody senang. Namun Ben patah hati dan memilih berhenti menjadi barista. Ia pulang menemui ayahnya. Hubungan kedua sahabat ini pun menjadi renggang. 

Cerita ditutup dengan Jody yang akhirnya memilih menjual Kedai Filosofi Kopi untuk membayar seluruh utang ayahnya dan membeli Food Truck Filosofi Kopi yang memungkinkan mereka keliling Indonesia jualan kopi. 

Keliling Indonesia ini yang kemudian menjadi ide cerita serial Filosofi Kopi sebanyak 10 episode. 

Apa yang saya pelajari dari Filosofi Kopi?

Dari Filosofi Kopi saya belajar tentang berharganya sebuah persahabatan dan hubungan keluarga. Itulah kekayaan yang hakiki dalam hidup manusia. Tidak ada nilai uang yang bisa menandingi rasa penuh memiliki hubungan yang baik dengan sahabat dan keluarga.

Ah…sepertinya sudah saatnya untuk ngopi-ngopi cantik bareng sahabat atau keluarga kita. Walau itu sekedar kopi saset. 

Sesempurna apa pun kopi yang kamu buat, kopi tetap kopi, punya sisi pahit yang tidak mungkin kamu sembunyikan. - Pak Seno, Filosofi Kopi
Tantangan Mamah Gajah Ngeblog


Shanty Dewi Arifin
Shanty Dewi Arifin Mama yang sedang semangat belajar menulis demi bisa bayar zakat sendiri.

7 komentar untuk "Menikmati Filosofi Kopi Bersama Secangkir Kopi Saset"

Comment Author Avatar
Teh Shanty, aku bahkan belum pernah nonton film filosofi kopi sampai sekarang :')
Ternyata ceritanya menarik ya. Sepertinya haru dan seru karena ceritanya ttg persahabatan dan keluarga. Btw, bahasa yg dipake Ben sama Jody agak kasar kah? Wkwk
Comment Author Avatar
Mungkin aku harus nonton ulang ya. Dulu kayanya ga suka nonton film nya nih jadi ga kelar nonton
Comment Author Avatar
*Standing applause

Wah Mba Shanty, nulis review film "Filosofi Kopi"-nya keren pi-to-the-saaaaan! Suka sekali membacanya Mba. Dari segi pemain, 'belakang' film, alur cerita, hingga amanat. Semua runut dan enak dipahami. :)

***
Ini saya setuju sekali, Mba, "Percaya deh, cerita yang beneran bagus, akan tetap menarik walau kita sudah tahu plotnya."
Mindset saya seperti ini, saya gak masalah baca spoiler ehehe.
Saya juga suka dengan film-nya, apalagi karakter Ben, pas banget memang diperankan oleh Chicco Jerikho. :)
***
Terima kasih sudah menuliskannya ya Mba. Saya belom pernah baca novelnya, suatu saat pengen baca ahhh. :)
Comment Author Avatar
Aku belum nonton filmnya, baru baca bukunya doang. Boleh juga nih kapan-kapan menontonnya sambil ngopi cantik bareng mbak Shan, hehehe ... Tapi ya, daripada kopi saset, masih lebih enak kopi tubruk dari Indonesia dikasih gula dan susu loh mbak. Cobain deh, aromanya juga lebih nikmaaat.
Comment Author Avatar
Baru tahu kalau ada film Filosofi Kopi yang kedua Teh, mau cari ah.

Kopi enak menurutku bukan hanya kopi tapi juga teman minum dan suasananya hehe
Comment Author Avatar
Kopi sasetnya samaan. ;)
Saya baca dan menikmati cerpen Filosofi Kopi tapi nggak ingat nonton filmnya. Kayaknya ketinggalan kejar bioskop. Keburu turun layar, dia. Tapi Filosofi Kopi sekuelnya saya nonton. Tentu saja menikmati 'rasa' yang berbeda, jauh sekali antara buku (film pertama) dengan sekuelnya. Tapi masih tetap bisa menikmatinya dengan asik. Jadi pengen nonton lagi.
Comment Author Avatar
waaahhh ... ini film favoritku teh Shanty: sudah ku tonton dua-duanya dan terkesan dengan latar cerita terutama saat scane di perkebunan kopi, mengharukan. Aku suka juga itu rumah tradisionalnya di desa ... tapi untuk percakapan Ben dan Jody memang gitu deh! he3 ...