Bagaimana menghadapi komentar jahat di Medsos?


Sempat ada yang baca komentar netizen di status IG-nya Yuni Shara beberapa waktu lalu nggak?

Ada screen shoot beberapa komentar sadis mengenai foto Yuni Shara dan bagaimana Yuni Shara dengan santainya menjawab komentar tersebut. Kalau di newsfeed saya, lebih banyak orang yang memuji bagaimana cara Yuni Shara menjawab komentar tersebut daripada yang ikut menyudutkannya.

Saya sendiri sebenarnya suka terpana membaca komentar kasar bin jahat di sosial media. Kalau sedang kurang kerjaan saya biasanya iseng membaca komentar beberapa orang di status orang lain. Wuis, itu banyak yang komentarnya sangat menyakitkan hati. Entah itu di komentar dalam status artis yang sepertinya empuk banget jadi bahan bully-an, atau bahkan dalam status akun resmi orang nomor satu di negeri ini. Untuk yang terakhir ini memang menakjubkan. Kok ya nggak ada takut-takutnya ngatain presiden kita yang nggak-nggak. Apa nggak mungkin kecyduk ya itu? Minimal ditandai lah akunnya.

Tapi memang unik, biasanya yang berani berkomentar kasar itu, adalah akun-akun dengan profil tidak jelas. Nama yang bukan nama orang umum, status pribadi yang tidak jelas, ya pokoknya akun abal-abal lah. Tapi memang ada juga yang komentar dari akun normal seseorang. Biasanya isi status sebelumnya memang agak tendensius pro pada golongan tertentu atau menunjukkan ketidaksehatan mental seseorang.

Apa sih yang termasuk komentar jahat itu?

Teman-teman sendiri apakah pernah berkomentar buruk dalam status orang lain?

Ok, sebelumnya kita samakan dulu persepsi tentang komentar jahat ya. Siapa tahu kita berbeda definisi mengenai hal ini. Mungkin ada yang mengatakan bahasa makian dan kosakata kebun binatang itu maksudnya bercanda, tapi ada yang menganggap itu benar-benar keterlaluan. Apakah seseorang terlalu perasa? Atau itu memang sudah diluar batas etika kesopanan berbahasa yang universal?

Kalau dalam Al Quran ada QS Al Hujurat 49:11 yang melarang tegas soal mengolok-olok orang lain.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” 

Buat saya mengolok-olok orang lain ini lah yang dikategorikan sebagai komentar jahat. Komentar seperti Cebong lu, Dasar kampret, IQ 200 sekolam, Bani Serbet, Bani taplak, walau kadang bikin geli, termasuk ke komentar jahat yang rasanya tidak etis beredar di dunia maya.

Mengapa orang tergoda untuk berkomentar jahat?

Pernahkah kamu mengolok-olok orang lain di akun mereka?
Memberikan komentar dengan tujuan membuat mereka malu?
Menyindir mereka?

Biasanya hal ini dilakukan di akun orang yang kita olok-olok secara langsung. Tujuannya tentu saja ingin mempermalukan orang lain, membuat orang tersebut berhenti dan malu melanjutkan apa yang mereka kerjakan, atau bahkan murni hanya iseng kurang kerjaan. Duh!

Saya sempat nonton wawancara terhadap salah satu orang yang biasa dibayar jasanya untuk menebar teror cyberbullying ini. Ternyata memang ada orang yang bisa dibayar untuk berkomentar jahat terhadap orang lain. Dan itu harganya mahal sekali.

Ada ya orang yang niat sekali merasa perlu menjatuhkan orang lain demi sesuap nasi. Harganya mahal loh katanya. Ngeri sekali membayangkan ada orang yang bisa memberi makan keluarganya dari uang yang didapat dengan menyakiti orang lain. Auzubillahi min zalik.

Selain demi uang, ada juga yang berkomentar jahat sekedar menyalurkan rasa frustasi terhadap kehidupan. Entah terbiasa hidup sulit penuh tekanan, jadi bawaannya kalau melihat kebahagiaan orang lain yang terkesan penuh kebahagiaan, hati menjadi panas dan mudah banget melontarkan ejekan. Kenal juga nggak, eh kok ya sempat-sempatnya tebar-tebar dosa memberikan komentar tidak penting yang menyakitkan hati.

Ada yang berdalih mengatakan komentar buruk dalam rangka memberikan nasehat agar orang yang dikomentari menjadi lebih baik dan menyadari kesalahannya. Serius nasehat? Mungkin ini hanya berlaku bagi mereka yang memang terbiasa dan bisa dinasehati dengan cara di olok-olok dan dipermalukan di depan umum.

Kalau saya pribadi terus terang, nggak akan bisa menerima masukan dengan cara yang demikian. Ada juga bawaannya jadi defensif dan menghindar. Boro-boro mau menuruti keinginan si “pemberi nasehat.”

Beda antara komentar jahat dengan diskusi beda pendapat

Ada bedanya komentar jahat dengan menyampaikan pendapat berbeda. Perbedaan pendapat disampaikan dengan argumen yang jelas dan ada dasarnya. Tidak perlu dibumbui oleh kata-kata yang menjatuhkan lawan. Karena tujuannya bukan mempermalukan lawan bicara. Namun untuk diskusi menunjukkan sudut pandang yang berbeda.

Diskusi beda pendapat itu didasari oleh keyakinan bahwa suatu persoalan itu bisa dilihat dari berbagai sisi.

Saya benar, tapi mungkin kamu ada benarnya juga. Kamu salah, tapi bisa jadi saya juga salahnya.

Jadi bukan saya pasti benar dan kamu pasti salah. Paling repot kalau sudah diskusi dan ketemu orang seperti ini. Diskusi beda pendapat yang sehat biasanya hanya terjadi diantara orang-orang yang wawasannya cukup luas dan setara. Agak repot kalau satu pihak amunisinya cuma 1 halaman, sementara pihak lain 100 halaman. Asli nggak nyambung. Hindarilah berdiskusi dengan orang-orang yang secara wawasan berbeda.

Kalau kita ketemu orang dengan wawasan yang selevel, maka diskusi akan berjalan dengan hidup. Satu orang baca 100 halaman membawa kesimpulan A. Satu orang yang lain baca 100 halaman yang berbeda dengan membawa kesimpulan B. Ketika mereka mengobrol mereka akan bisa meluaskan wawasan mereka menjadi 200 halaman.

Paling menyebalkan kalau harus berdiskusi dengan orang yang baru baca 1 halaman, dan keukeuh dengan pendapatnya itu saja. Tidak bisa diajak untuk bisa melihat 100 halaman yang sudah dibaca orang lain. Tipe orang seperti ini biarkan saja mereka kelaut dengan 1 halaman itu. Lebih manfaat mencari informasi untuk menemukan 100 halaman lain dari orang-orang yang lebih bermutu.

Bagaimana cara menghadapi komentar jahat? 

Nah bagaimana kalau kita yang dapat komentar jahat?
Diabaikan saja seperti kebanyakan dilakukan para artis?
Di-delete daripada mengotori status kita dan sekaligus menutup aib orang lain? (Karena biasanya komentar jelek, akan mengundang orang untuk mengklik akun tersebut karena kepo dengan orang tersebut. Dan biasanya ini menjadi sumber bully baru.)
Dijawab dengan marah-marah seperti artis yang baru-baru ini ngamuk karena ada orang yang mengomentari nama anaknya?
Dibalas dengan cara elegan sekaligus mempermalukannya secara halus?

Kalau menurut saya itu sih tergantung karakter masing-masing orang juga. Komentar jawaban itu menunjukkan kualitas orang juga. Ada orang yang seperti Kang Emil, yang hobi banget menjawab komentar-komentar miring tentang dirinya. Bahkan sering mempermalukan balik orang tersebut. Beberapa yang terakhir bahkan membuat saya ngakak saking telaknya.

Tapi kalau saya pikir-pikir, apa gunanya juga melakukan hal yang sama dengan mereka. Olok-olok dibalas dengan olok-olok yang mempermalukan orang lain. Walau memang bisa jadi kita bilang mereka pantas mendapatkannya, tapi rasanya itu tidak akan memutuskan siklus cyberbullying.
Tidak usah mimpi menghentikan cyberbullying dengan cyberbullying.

Api tidak akan bisa padam dengan api lagi. Tapi harus dengan air.

Seperti kata Edho Zell, tidak perlu menjawab komentar haters. Itu tidak akan selesai-selesai. Cukup jadi masukan untuk membuat karya yang lebih baik. Bersyukurlah kita dapat masukan gratisan dari orang-orang yang kurang kerjaan. Bisa jadi mereka memang dikirim Tuhan untuk menyampaikan informasi berharga yang sulit kita temukan dari para lovers yang pujiannya memabukkan.

Ambil bagusnya kalau ada, buang jeleknya. Dan yang pasti, tidak perlu buang waktu memberi komentar buruk terhadap orang lain. Apalagi jika tidak diminta. Ingat-ingat, mengolok-olok itu dilarang agama!

Bagaimana cara tidak berkomentar jahat terhadap orang lain?

Menurut saya, kita itu akhirnya tergoda berkomentar buruk terhadap orang lain biasanya efek kita kelamaan main hape. Di atas 2 jam muter-muter baca berita yang sama, akhirnya otak kita cenderung gatal ingin komentar. Amarah dan ketidaksabaran kita jadi seperti siap meledak dan dimuntahkan.

Kalau kita buka sosmed hanya sekedar 5-10 menit. Sekedar melihat sekumpulan status dari teman-teman yang masuk dalam lingkaran see first kalau di Facebook, biasanya kita nggak tergoda komentar tidak penting. Lagian nggak sempat juga kali ya. Di sini nih pentingnya pembatasan jam buka sosmed.

Catat ya, yang utama itu jam buka sosmed dan terhubung dengan internetnya. Bukan jam pegang Hp. Hp sebagai telepon pintar itu gunanya banyak banget selain untuk bersosmed ria. Bisa untuk membaca buku yang sudah di download, menulis catatan, sebagai jam, planner, dan banyak lagi. Kita butuh Hp kita sepanjang waktu sebenarnya. Yang merusak adalah jaringan internetnya yang menggoda kita untuk terhubung dengan banyak orang di sosial media. Ini nih yang akan menimbulkan masalah sendiri jika menjadi kecanduan dan tidak produktif.

Jadi kuncinya untuk tidak berkomentar jahat adalah dengan mengurangi jam terhubung dengan sosial media sehari-hari. 2 jam itu maksimal lah dosisnya. Kalau bisa 1 jam sehari malah mungkin lebih baik. Jangan sampai 3 jam lebih seperti data rata-rata orang Indonesia. Mari kita cari kegiatan lain yang lebih mengasyikkan daripada bersosmed. Mengejar mimpi yang selama ini tertunda misalnya.

Demikian lah sedikit uneg-unegku mengenai komentar jahat dini. Mudah-mudahan jadi pengingat untuk selalu #BerkataBaikAtauDiam. Buat teman-teman yang juga gerah dengan topik ini, yuk ramaikan tagar #BerkataBaikAtauDiam dengan menyampaikan opini terkait hal ini di status sosial masing-masing. Semoga di bulan Ramadhan ini menjadi momentum untuk mengurangi cyberbullying di dunia maya.

Ah indahnya dunia, jika komentar-komentar diisi dengan hal-hal yang menyejukkan.


Shanty Dewi Arifin
Shanty Dewi Arifin Mama yang sedang semangat belajar menulis demi bisa bayar zakat sendiri.

2 komentar untuk "Bagaimana menghadapi komentar jahat di Medsos?"