Hati-hati dengan Kompetisi Abal-abal
Sejak mengikuti keseruan kompetisi Ruang Guru Clash of Champions dan mulai mengikuti akun-akun yang berhubungan dengan pendidikan, Instagramku dibanjiri dengan iklan-iklan kompetisi olimpiade sains online untuk berbagai jenjang pendidikan. Tahu aja, kalau iklan-iklan seperti ini akan aku forward ke anak-anak. Siapa tahu mereka tertarik untuk mengikuti.
Makin lama-lama eh kok ya makin banyak berseliweran iklan sejenis. Tadinya kupikir ini dari satu penyelenggara yang sama. Ternyata namanya beda-beda. Tapi tampilan flyernya agak mirip-mirip.
Makin diperhatikan, makin kelihatan seperti ada yang salah dengan kegiatan ini. Dari flyernya yang polanya senada, hadiah yang yang ditawarkan agak aneh (dari ponsel hingga mouse), tampilan akun IG yang hampir mirip, timeline yang meragukan, hingga tidak adanya rekam jejak pemenang sebelumnya. Walau penyelenggaranya berbeda-beda namanya, tapi terasa kalau ini dibuat oleh pihak yang sama.
Apa coba maksudnya?
Ternyata di media sosial ada pengakuan dari mereka yang merasa tertipu dengan ikut kompetisi-kompetisi seperti ini. Kompetisi ada yang gratis, ada yang berbayar. Dari sini saja, penyelenggara bisa mengeruk keuntungan yang lumayan dari para pendaftar.
Ada juga kompetisi yang tidak berbayar, tapi nanti untuk mendapatkan sertifikat diminta bayaran. Padahal lombanya sendiri diselenggarakan secara online dan hanya memberikan soal template dari soal-soal yang sudah banyak beredar. Benar-benar tidak bermodal.
Pemenangnya juga bisa sangat banyak. Ini jadi seperti ajang bagi-bagi sertifikat. Sepertinya penyelenggara sangat tahu kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan sertifikat yang bisa dimanfaatkan untuk bisa diterima di sekolah jenjang yang lebih tinggi.
Memangnya sertifikat hasil kemenangan itu untuk apa?
Ternyata yang diharapkan adalah sertifikat ini adalah untuk bisa mendapatkan poin jalur prestasi perlombaan pada PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) sekolah negeri. Atau bisa juga dijadikan prestasi pendukung jika ingin mengikuti kegiatan-kegiatan tertentu.
Masyarakat lupa, kalau sertifikat yang diakui itu sebenarnya dibatasi dan diutamakan yang dikeluarkan resmi oleh Kemendikbud, Kemenpora, dan Kementrian agama. Biasanya kompetisi seperti ini berjenjang dari level gugus, kecamatan, kota, provinsi, nasional dan internasional. Dan tentu saja sudah diselenggarakan secara rutin dari tahun ke tahun. Kita bisa melihat rekam jejaknya di akun IG Puspresnas (Pusat Prestasi Nasional) yang merupakan akun resmi dari Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi.
Kompetisi Bagi-bagi Medali
Aku jadi teringat sebuah lomba olahraga yang pernah anak-anak ikuti saat usia SD. Kompetisinya berlangsung selama beberapa hari. Nomor lombanya sangat banyak. Bahkan bisa jadi untuk satu nomor lomba, pesertanya hanya 2-3 orang saja. Nanti pemenangnya pun bisa 2-3 orang untuk mata lomba tersebut. Satu anak bisa ikut beberapa nomor lomba. Alhasil, hampir semua anak pulang dengan bawa medali.
Untuk mengikuti kompetisi ini, peserta harus bayar. Kalau tidak salah ingat, ada harga per nomor lomba yang diikuti. Dalam 1 tahun, kompetisi seperti ini bisa beberapa kali.
Mungkin anak-anak pulang dengan senang karena dapat medali. Walau mereka sebenarnya kalah. Tadinya kupikir, sekedar untuk penyemangat buat anak-anak biar senang berkompetisi dan berlatih mempersiapkan diri.
Tapi lama-lama mulai berpikir juga. Apa ia, kompetisi model menyenangkan anak seperti ini diperlukan? Apakah ini bukan sekedar menguntungkan panitia saja?
Aku rasanya lebih suka kompetisi yang memang benar-benar mencari yang terbaik. Seperti kompetisi Bulutangkis Djarum misalnya. Sungguh-sungguh dicari talenta terbaik. Ada banyak anak-anak yang menangis sedih karena kalah. Tapi mereka akan belajar dari kekalahan dan mencoba lebih baik lagi pada tahun depannya. Daripada pulang bawa medali sebagai souvenir.
Demikian juga dengan kompetisi olimpiade nasional yang resmi diselenggarakan Kemendikbudristek. Hanya segelintir anak-anak terbaik yang bisa lolos dari tiap provinsi. Bahkan hanya 4 anak yang akan mewakili Indonesia untuk level internasional.
Anak-anak ini melalui perjuangan panjang tahap seleksi. Seperti yang diceritakan oleh Axel, runner up Clash of Champions. Ia biasa menghadapi kekalahan. Pada tahun pertama ia selalu kalah, baru menang pada tahun berikutnya. Ia mengalami ini di jenjang SD, SMP, dan SMA. Ini pasti bukan anak-anak yang akan mengikuti kompetisi abal-abal sekedar untuk dapat medali sebagai souvenir.
Jadi kupikir, perlulah kita untuk lebih bijak memilih kompetisi yang sehat untuk anak-anak berlatih. Kompetisi dengan rekam jejak yang baik dalam beberapa tahun terakhir, bisa dijadikan pegangan. Juga jangan lupa disesuaikan juga dengan minat anak, sehingga mereka bisa menikmati dan belajar dari kompetisi yang mereka ikuti.
Kamu sendiri punya pengalaman ikut kompetisi yang hasilnya mengecewakan nggak?
Posting Komentar untuk "Hati-hati dengan Kompetisi Abal-abal"
Posting Komentar