Belajar Berutang dari Keuangan Negara
Ada nggak sih ibu-ibu yang nggak pake pusing mengatur keuangan rumah tangga? Keuangan yang sudah terencana dengan baik dan bisa terealisasi dengan baik. Tidak ada cerita besar pasak daripada tiang. Setiap pos pengeluaran sudah ada budgetnya masing-masing. Tidak lupa untuk tabungan dan investasi. Boleh ada utang, tapi masih dalam batas aman.
Sayang, aku belum bisa seperti itu. Sekarang ini masih di level selalu kebingungan mengatur pengeluaran dari pendapatan yang rasanya selalu defisit. Salahnya dimana ya?
Beberapa hari terakhir ini, harian Kompas sering mengangkat pembahasan mengenai RAPBN (Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Jadi kepo aja bagaimana cara negara ini mengelola uang. Apa sama bingungnya dengan ibu rumah tangga mengatur keuangan di rumah?
Ada beberapa fakta menarik mengenai keuangan negara yang aku temukan. Seperti tentang utang negara sebesar 8.500 Triliun. Ngebayangin uangnya sih senang. Tapi kalau ini jumlah utang, yang mual juga bacanya. Karena kalau kita bicara utang, tentunya yang perlu dipikirkan adalah bunga utang yang harus dibayarkan?
Narasi Utang Negara yang Menyesatkan
Selama ini negara selalu menyebutkan kalau rasio utang Indonesia masih dalam batas aman. Batas aman utang menurut undang-undang keuangan negara adalah di bawah 60% PDB (Produk Domestik Bruto). Posisi utang Indonesia per Juli 2024 ada di 38,68% PDB. Dan ini terus naik seiring waktu.
Ditambah lagi ada rencana dari pemerintah Pak Prabowo untuk menambah utang baru 775,9 Triliun. Duh, sesak napas nggak sih bacanya. Padahal pada tahun 2019 saat Pak Jokowi baru menjabat, jumlah utang Indonesia hanya di angka 2.600 Triliun saja.
Negara maju seperti Singapura rasio utangnya mencapai 168% PDB. Sementara Jepang rasio utangnya mencapai 264% PDB. Santai dong Indonesia yang merasa utangnya aman dibandingkan negara lain.
Ternyata ada informasi yang tidak lengkap dan cenderung menyesatkan. Hal ini diungkapkan oleh Awalil Rizky, Ekonom Bright Institute dalam sebuah artikel di harian Kompas 22 Agustus 2024 berjudul RAPBN 2025 Semakin Disesaki Utang.
Informasi yang terlewat itu adalah besaran rasio pembayaran bunga utang terhadap total belanja.
Negara-negara besar yang utangnya besar itu, ternyata punya rasio pembayaran bunga yang sangat kecil dibandingkan dengan total belanja negara mereka.
Singapura itu porsi bunga utangnya hanya 0,4% dari total belanja. Dan Jepang hanya 6,2% dari total belanja. Sementara Indonesia, porsi bunga utangnya mencapai 20,5% dari total belanja. Ini kan gila banget ya, seperlima pengeluaran negara untuk bayar bunganya saja. Ini kan sangat tidak sehat.
Yang terjadi dalam 10 tahun terakhir, negara sering gali lobang tutup lobang untuk urusan pembayaran bunga ini. Mau nangis nggak sih dengar fakta seperti ini. Apalagi kalau lihat masih ada pejabat yang bisa-bisanya foya-foya dengan uang negara.
Lah, ini kenapa negara bisa sama ribetnya dengan kondisi keuangan penduduknya yang terlibat utang pinjol dengan bunga tinggi? Masa di level negara tidak ada ahlinya yang bisa memberi nasehat bijak agar hal seperti ini tidak perlu terjadi? Atau ada paksaan untuk harus meminjam?
Perhatikan Rasio Bunga dalam Berutang
Tapi intinya, belajar dari utang negara besar, akhirnya aku paham mengenai mengapa utang itu bisa dibenarkan. Ketika bunga utang masih dalam batas aman, sebenarnya menggunakan uang pihak lain untuk sesuatu yang produktif itu malah bagus dan bisa saling menguntungkan. Bisa dianggap kaya bagi-bagi rezekilah.
Dan batas aman berutang itu bukan dari besaran utangnya, melainkan dari bunganya. Kalau bunganya besar, ya konyol sih itu. Mending pakai uang sendiri saja dari hasil tabungan. Daripada uang terbuang sia-sia hanya untuk bayar bunga.
Itulah sebabnya, jauhilah sebisa mungkin pinjol atau skema-skema peminjaman uang yang bunganya tidak masuk akal.
Kami pernah ingin membeli laptop seharga 7 juta rupiah. Saat melihat skema angsuran, kami totalnya harus membayar sampai 9 juta dalam 6 bulan. Padahal sebenarnya dengan uang 9 juta, kami bisa mendapatkan laptop dengan spesifikasi yang jauh lebih baik.
Pilihan yang lebih bijak adalah membeli cash sesuai dengan uang yang tersedia saat itu, atau menunda keinginan dengan menabung dulu hingga bisa membeli cash sesuai barang yang diinginkan. Utang bukan pilihan bagus untuk kondisi ini.
Sebelumnya pernah ada opsi bunga nol persen untuk cicilan ponsel dari kartu kredit. Nah, kalau ini tidak terlalu ada beda antara bayar tunai dan mencicil. Apalagi untuk mereka yang punya penghasilan rutin bulanan. Untuk kasus seperti ini, opsi mengambil utang cicilan masih lebih masuk akal.
Jadi begitulah… urusan utang-utangan ini memang perlu ada ilmunya juga. Dan tentu saja kesabaran dan menjauhi keserakahan.
Posting Komentar untuk "Belajar Berutang dari Keuangan Negara"
Posting Komentar