Mungkinkah Menulis Tanpa Riset?

 

menulis tanpa riset

Salah satu yang membuat saya begitu tidak produktif dalam menulis adalah lamanya mencari data pendukung. Mau review film atau buku, saya bisa nyasar lama ke pengalaman hidup si penulis hingga gosip-gosip yang menyertai tulisan tersebut. Saking nyasarnya, saya bahkan bisa lupa saya itu sebenarnya mau menulis apa. 

Saya tahu itulah gunanya outline atau kerangka. Untuk membatasi nyasarnya jangan terlalu jauh. Ngapain juga cari data banyak-banyak dan membuat tulisan menjadi tidak fokus. Kadang data yang sedikit saja sebenarnya bisa cukup.

Tapi mungkin karena saya belum ahli, bagian mencari data ini menjadi proses yang saya sukai untuk dilakukan berlama-lama. Asyik aja rasanya jadi tahu lebih banyak dengan sebuah topik yang ingin kita bahas. 

Saat semua informasi terkumpul, baru deh bisa ditulis dengan enak. Walau memang bisa jadi nanti informasi yang tersaji hanya sebagian kecil saja dari seluruh data yang sudah terkumpul.

Hingga saat ini, saya masih kesulitan untuk bisa membatasi waktu riset hanya bagian yang penting-penting dan utama saja. Sesuai dengan kebutuhan outline. Saya lebih suka, baca yang banyak, baru nanti dilihat lagi bagian mana yang menarik untuk diangkat ke dalam tulisan. Bukan dari outline - riset - draft. Tapi riset - draft - outline. Hasilnya.... lama.... banget. 

Kalau belum apa-apa sudah dibatasi outline dulu, saya malah merasa tulisannya nggak kemana-mana. Malah bingung nulisnya. Mungkin itu ya yang namanya penulis pemula. Semuanya masih coba-coba. Referensinya masih dangkal.

Yang pasti, menulis tanpa riset itu terasa sangat hambar. Bahkan untuk curhat, kalau tidak ada data pendukungnya dan murni berdasarkan opini pribadi semata, tulisan akan terasa dangkal. Beda dengan kalau kita punya referensi pendapat dari beberapa pihak. Perbedaan sudut pandang itu bisa memberikan warna tulisan yang lebih enak untuk dibaca. 

Selain itu, buat saya yang pembaca utama tulisannya adalah saya sendiri. Saya perlu menyimpan data dalam tulisan saya agar mudah dicari lagi. Itulah pentingnya riset bagi saya. Jadi kalau besok-besok dibutuhkan, saya tidak perlu browsing ke sana kemari. Cukup lihat postingan sendiri, dan semua data sudah ada di sana. 

Pada bulan Januari ini, sebagian besar tulisan saya hanya dengan riset seadanya. Makanya jadinya ya…. seadanya juga. Saya masih kesulitan untuk mengatur waktu yang cukup untuk bisa meriset dengan cepat. Pokoknya sekarang harus tayang dulu saja setiap hari. 

Saya tidak mau mengulang kesalahan yang sama dengan tahun lalu dengan menunda penayangan hanya karena perlu melakukan riset tulisan dengan lebih dalam. Di tahun 2023, khususnya di bulan Januari ini, targetnya kemampuan untuk menyediakan waktu menulis post yang sekedar layak tayang saja dulu. Kekuatan kontennya masih nomor dua. Segini juga saya perlu meluangkan waktu sekitar 2-3 jam setiap hari untuk menulis. 

Harapannya di bulan Februari, saya bisa menulis 2-3 jam tapi dengan pengumpulan data yang lebih baik. Perlu lebih efisien nih mencari datanya. Nggak pake dicampur-campur dengan main sosmed segala. Ha…ha…

Tapi apakah menulis tanpa riset itu haram? Tulisannya pasti jelek dan tidak enak untuk dibaca? Masa sih nggak boleh menulis opini pribadi murni sehingga tidak perlu data tambahan?

Tentu saja sah-sah saja. Bahkan banyak penulis seperti itu yang bisa menghasilkan tulisan bagus yang enak dibaca. 

Coba bandingkan tulisan Catatan Pinggirnya Goenawan Mohammad di Tempo atau postingan harian Dahlan Iskan di disway.com dengan tulisan rubrik Parodi yang dibuat Samuel Mulia di Kompas Minggu. 

Gaya tulisan Goenawan Muhammad dan Dahlan Iskan menurut saya tipe tulisan dengan data riset yang dalam. Opini yang ditunjang dengan perlu buka primbon dulu untuk tanggal dan peristiwa. 

Beda dengan tulisan Samuel Mulia yang mengangkat keluh kesahnya tentang kehidupan. Tidak banyak data berat dalam tulisannya. Tapi perenungan yang ia lakukan menurut saya cukup mendalam dan menunjukkan seorang senior (beliau berumur 50-an) yang punya pandangan dan wawasan luas. 

Ini yang membuat tulisan curhatnya enak banget dibaca. Beda dengan curhat ala saya yang ngalor-ngidul nggak keruan. Halah, siapa elu ngebandingin dengan penulis sekelas Samuel Mulia. 

Yang mau saya sampaikan, walau tidak selalu dalam bentuk data, tapi pengalaman dan wawasan seseorang sangat mempengaruhi hasil tulisannya. Bisa saja kesannya tidak melakukan riset yang makan waktu lama, tapi kumpulan data di kepala penulis senior ini sudah banyak. Sehingga semuanya bisa mengalir lancar saat dibutuhkan. Itulah kekuatan jam terbang. 

Mudah-mudahan dengan rutin berlatih, kita juga bisa sekelas mereka yang bisa menulis dan meriset dengan cepat ini ya. Amin!

(700 kata)
Shanty Dewi Arifin
Shanty Dewi Arifin Mama yang sedang semangat belajar menulis demi bisa bayar zakat sendiri.

Posting Komentar untuk "Mungkinkah Menulis Tanpa Riset?"