Kita Semua Akan Julid Pada Waktunya

kita semua akan julid pada waktunya
Bunga yang dipetik Min-seong di taman bermain karena katanya teringat pada ibunya. Sepertinya dia meniru ayahnya yang membeli bunga untukku kemarin. Ayah dan anak sama saja.

#anakturunkeanak #janganmenguntitiibulagi #kemarinbungahariinibunga #priapriamanis

(Status IG Jeong-ah)

Komentar julid 1:

Min-seong manis sekali. Dia pasti akan bersikap baik pada kekasihnya nanti. Tapi kemarin petugas keamanan marah-marah karena ada yang menginjak bedeng bunga… Bersikap manis boleh saja, tapi sebaiknya dia diajari bagaimana menyayangi sesama makhluk hidup. (komentar Yoo-jin)

Komentar julid 2:

Suamimu memberimu bunga? Jeong ah, kau pasti kesal setengah mati. Aku sendiri benci bunga. (komentar Na-yeong)

Status IG di atas saya ambil dari novel Korea Happiness Battle karya Joo Youngha (2020). Novel ini mengangkat tema ibu-ibu yang berlomba-lomba memamerkan kebahagiaan mereka. Repotnya adalah ketika mereka mulai merasa perlu memenangkan perang kebahagiaan ini dengan cara menghancurkan kebahagiaan orang lain. 

Dengan cara apa? Dengan cara berkomentar julid terhadap orang lain.

Serem banget nggak sih?

Apakah julid sama dengan iri?

Sebelumnya mari kita samakan perspektif dulu mengenai apa sih julid itu. Apa sekedar iri karena “Kok lu bisa, kok gue nggak?” termasuk dalam kategori julid? Karena kalau batasannya ini, saya lumayan sering merasa seperti ini. 

Alhamdulillah saya dikelilingi oleh teman-teman yang punya banyak kelebihan. Berhubung minat saya di bidang menulis, jadi sumber keirian saya nggak jauh-jauh dari mereka yang bisa lebih rajin menulis blog post, lebih banyak baca buku, lebih sering menang lomba menulis, atau punya banyak buku yang diterbitkan. 

Mestinya ya saya bisa juga dong kaya begitu. Kenapa nggak coba? Wong sama-sama punya waktu 24 jam gitu loh.

Apakah saya jadi berkomentar julid untuk setiap karya mereka? Nggak tuh. Yang ada saya malah senang dapat referensi. Teman-teman keren ini membantu membukakan jalan dan wawasan buat saya. 

O… ternyata bisa begitu ya caranya. 

Kemarin-kemarin pikiran saya tertutup dan nggak bisa melihat cara bagaimana bisa melakukan hal tersebut. Rasanya nggak mungkin bisa. Saya tidak berbakat. Saya bukan tipe seperti itu. Dan banyak alasan lain. 

Dengan melihat orang yang kita kenal langsung, bisa berhasil. Kita jadi lebih terinspirasi. Dibanding kalau yang berhasil itu adalah orang-orang yang tidak benar-benar kita kenal. "Kalau lu bisa, kenapa gue nggak?" 

Bisa jadi karena dia lebih memilih menulis dibanding bobo siang cantik kaya saya. Atau karena dia lebih amanah terhadap janji yang sudah dibuat dibanding saya yang lebih slow response dan minimalis.

Alih-alih memberikan komentar julid yang membuat kita semakin jauh dari mereka yang sudah berhasil duluan itu, kita malah perlu mendekati dan mengambil hati mereka. Siapa tahu kecipratan ilmu rahasia keberhasilan mereka. 

Ya nggak? Setidaknya selama ini, it works for me

Kembali ke apakah tipe iri yang seperti ini termasuk julid? Saya rasa sih tidak. Karena tidak melibatkan komentar yang menyinggung orang yang membacanya. Setidaknya saya tidak bermaksud menyinggung perasaan mereka.

Julid tergantung konteks

julid
"Kok lu bisa, kok gue nggak?"

Nah kalau bawa-bawa perasaan, menilai kejulidan itu memang bisa sangat relatif loh. Begitu sering saya membaca sebuah status yang bisa dinilai orang lain dari berbagai sisi. Orang bisa pro, bisa kontra.  Kata si A itu julid, kata si B itu biasa saja, kata si C itu sangat mewakili perasaan hati yang terpendam.

Menurut saya, kita menilai suatu konten berdasarkan:

  1. Latar belakang pendidikan, ekonomi, budaya kita
  2. Seberapa dekat kita mengenal orang tersebut
  3. Bias dari tanggapan orang lain terhadap konten tersebut
  4. Kondisi kita saat membaca 

Beda banget loh, baca komentar orang lain saat dompet kita tebel, dengan saat belum sarapan dan bak cuci piring penuh piring kotor. 

Apakah semua perbedaan pendapat bisa dinilai sebagai julid?

komentar nyinyir
Saya bisa belajar apa darinya biar bisa seperti itu? Bukannya malah dijulidin.

Hadeuh…cape deh. Ya nggak lah. Kita perlu belajar untuk terbiasa berdiskusi. Terbiasa mendengarkan berbagai macam pendapat. Memang sangat mungkin orang salah dalam menanggapi apa yang sebenarnya hendak kita sampaikan. Bukan maksud kita begitu, eh… kok nangkepnya gitu sih?

Penerimaan setiap orang bisa berbeda. Itu wajar dan bisa diterima. Walau mungkin menyakitkan, tapi ya bisa jadi masukan berharga buat kita. Bukan untuk kapok menyuarakan pendapat secara terbuka, tapi untuk bisa menerima perbedaan pendapat. 

Pengalaman saya di dunia perjulidan

Apakah saya pernah dijulidin? Apakah saya pernah memberi komentar julid tentang pendapat orang lain? Dua-duanya pernah. 

Sebagai penulis yang sering buat tulisan di blog atau di status, tentu saja saya pernah mendapat komentar tidak enak dari pembaca. Kebetulan sebagai orang yang nggak beken, lingkaran pertemanan saya sih masih di situ-situ saja. Orang-orang yang saya kenal baik. 

Jadi ketika orang yang kenal baik dengan saya ini memberi komentar buruk, saya bisa lebih lapang menerimanya. Karena saya mengenal latar belakang kondisinya. 

Walau memang sih, saya nangis juga bacanya. Tapi ya nangisnya sebentar aja. Karena toh kami besoknya sudah baikan lagi. Ha…ha..

Bagaimana dengan dijulidin sama netizen yang tidak kita kenal. Nah ini kadang bikin saya bingung. Siapa eluh? Nggak ngerti konteks ikut ngasih tanggapan yang ajaib. 

Kadang saya beneran bisa ketawa baca komentar julid yang menunjukkan betapa sempitnya pemikiran orang tersebut. Bagaimana mau marah kalau baca komentar bodoh dan kocak seperti itu. 

Lantas kenapa saya sampai memberikan komentar julid sama orang lain?

First of all, tentu saja saya tidak pernah bermaksud julid. Saya hanya mengutarakan perbedaan pendapat terhadap konten tersebut. Memang bisa jadi saya salah konteks karena mungkin saat itu dompet lagi tipis dan belum sarapan. Tapi itulah pendapat yang saya yakini saat membacanya. Di saat lain, pendapat itu bisa jadi berubah. 

Terlebih lagi dalam dunia digital yang serba cepat seperti sekarang. Kita baca status buru-buru. Kita jadi tidak terbiasa mencerna sesuatu dengan lebih tenang. Otak kita dipenuhi dengan cepat oleh apa yang lagi viral dan pendapat-pendapat yang terpolarisasi serta mengacaukan cara kita menilai sesuatu. Keputusan yang kita ambil jadi begitu emosional dan instan. 

Tebar-tebar komentar. Lalu lupa. 

Akhir kata, saya mau menutup pembahasan mengenai perjulidan ini dengan satu kesimpulan. 

Jangan buka sosmed dan mudah berkomentar saat dompet kosong dan belum sarapan. Pokoknya jangan, bahaya! 

Beropinilah dan berbagilah saat hatimu senang dan bahagia. Karena itu akan membantumu menyampaikan pikiran-pikiran yang jernih dan jujur. Semoga kita semua bisa lebih menjaga hati dan pikiran agar lebih santai di dunia yang penuh kejulidan ini. Amin….

TTM Julid KLIP
Tulisan ini dibuat dalam rangka TTM 21-25 Februari KLIP dengan tema Julid


Shanty Dewi Arifin
Shanty Dewi Arifin Mama yang sedang semangat belajar menulis demi bisa bayar zakat sendiri.

Posting Komentar untuk " Kita Semua Akan Julid Pada Waktunya"