Belajar Parenting bersama Nouman Ali Khan



Bisa jadi semangat 6.500 pelari Bandung West Java Marathon yang membirukan kota Bandung Minggu, 30 Juli 2017, ikut membakar semangat para orang tua dan calon orang tua untuk menghadiri Seminar Mendidik Generasi Membangun Peradaban di GSG Mesjid Salman ITB. Sebuah acara yang diselenggarakan oleh fans club-nya Nouman Ali Khan di Indonesia, untuk menambah ilmu dalam mengasuh buah hati tercinta.

Nggak bosen hadir Seminar Parenting? Seminar parenting kan gitu-gitu aja…

Kalau saya sih belum bosan. Kenapa? Karena selalu saja ada hal baru yang menambah wawasan dan suntikan energi untuk bisa memperbaiki diri dalam menghadapi anak-anak tercinta. Akan selalu ada rasa yang berbeda ketika kita hadir dalam sebuah forum dan mendengar sendiri pemaparan dari para pembicara. Seru lagi bertemu dengan orang-orang yang memiliki minat yang sama dalam mendidik buah hati kita. Kalau nggak percaya, cobain deh!

Kalau pengaruh buruk saja bisa berulang kali masuk ke kepala dan mencuci otak kita tanpa sadar. Mengapa kita tidak menjejali otak dengan wawasan-wawasan baru yang bermanfaat. Tidak perlu dijadikan doktrin sebagai sesuatu yang pasti benar. Namun sekedar menjadi wawasan yang membuka mata kita sebagai baby sitter-nya Allah.

Dan menurut saya, mendidik anak itu TIDAK gitu-gitu aja…




Mendidik anak versi Azar dan Nabi Yaqub

Namanya juga yang mengadakan fans club-nya Nouman Ali Khan (NAK)  , tentunya acara seminar diisi juga dengan pemaparan sang penceramah tentang ayat-ayat Quran yang berhubungan dengan ilmu parenting. 

Mungkin banyak yang belum kenalan dengan penceramah Pakistan yang lama menetap di Amerika ini. Sejak tahun 2006 ia mendirikan Bayyinah Institut, sebuah institusi yang mengkaji ilmu Al Quran. Walau masih muda (kelahiran tahun 1978), beliau ini putranya 7 loh. Jadi kalau beliau bicara soal parenting, ya pantes lah. NAK Indonesia telah menerjemahkan sejumlah ceramah beliau dalam bahasa Indonesia. Buat yang ingin tahu, bisa segera meluncur ke sosial media NAK Indonesia di FB, IG atau YouTube.

Dalam video Quranic Essence of Parenting, Nouman Ali Khan berhutbah berdasarkan kekhawatiran sejumlah orang tua. Bukan satu dua orang tua, tapi ratusan orang tua yang sudah mengadu ke dirinya. Betapa banyak orang tua yang merasa sudah berkorban banyak demi mendidik anak mereka sereligius mungkin di masa kecil, seperti memasukkan ke sekolah berbasis agama, hapal kitab suci, rajin ibadah, tapi bisa menjadi pribadi yang begitu tidak bisa dikenali saat remaja. Mereka menjauh dari orang tua, tidak lagi berdoa, berkata kasar pada orang tua, bahkan murtad dari agama. Kebayangkan hancurnya hati orang tua. 

Kenapa bisa seperti itu?

Menjawab itu Nouman Ali Khan mengajak pemirsa untuk belajar dari studi kasus yang diberikan Allah dalam Al Quran. Kisah ayah nabi Ibrahim (Azar) dan kisah Nabi Yaqub. Kisah 2 ayah yang fenomenal dalam Al Quran. Pasti ada alasannya dua kisah ini diangkat dalam Al Quran untuk kita jadikan pelajaran sebagai orang tua.

Baca juga: Dialog Ayah dan Anak dalam Al Quran 

Nabi Ibrahim tumbuh dalam lingkungan yang sangat tidak mendukung ketauhidan. Ayahnya seorang pembuat berhala. Nabi Ibrahim menjadi orang yang aneh sendiri, pembangkang bagi lingkungannya. Tapi ia tetap tumbuh menjadi seorang nabi besar. 

Kasus ini menjadi contoh, bahwa tidak selamanya kita bisa menyalahkan lingkungan yang buruk atau orang tua yang tidak mendukung atas buruknya nasib kita.

Sebaliknya dalam kasus nabi Yakub bin Ishak bin Ibrahim, hidup dalam lingkungan yang sangat mendukung. Familiarkan dengan kisah anak-anak nabi Yakub, Yusuf dan saudara-saudaranya yang tega-teganya menjebloskannya ke sumur? 

Coba bayangkan, bagaimana mungkin seorang anak yang memiliki ayah dan kakek seorang nabi pilihan Allah (Nabi ya, bukan lagi sekedar ulama atau dai) bisa punya sifat-sifat sejahat itu terhadap saudara mereka sendiri?

Kasus yang sangat unik kan? Mengapa Nabi Yakub bisa memiliki 2 macam anak seperti ini. Ada yang sholeh, seperti Nabi Yusuf dan si bungsu Bunyamin. Dan ada juga seperti saudaranya yang lain. Padahal Yusuf sejak kecil terpisah dari keluarganya, sementara saudaranya yang lain tinggal bersama ayah mereka dalam lingkungan yang sangat religius.

Salahnya dimana?

Dalam surat Al Kahf 18:80 dikisahkan mengenai seorang anak yang dibunuh Khidir saat bersama dengan Nabi Musa. Ternyata anak ini kafir dan sedangkan kedua orang tuanya mukmin. Suatu saat nanti dikhawatirkan ia akan mengganggu keimanan kedua orang tuanya. Jadi melalui tangan Khidir, anak itu dibunuh dan diganti dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya.

Pesannya adalah sebagai orang tua kita memiliki tanggung-jawab terhadap anak, tapi kita tidak memiliki kemampuan untuk mengkontrol hasilnya. 

Kita bertanggung-jawab untuk membesarkan anak-anak kita hanya sampai umur tertentu, setelah itu mereka bertanggung-jawab terhadap diri mereka sendiri di hadapan Allah.

Ust. Nouman Ali Khan juga berpesan agar tidak menjejali anak dengan agama secara berlebihan. Banyak kasus di usia dewasa (akil balig), anak-anak malah menjadi eneg dan semua pemahaman malah mental semua. Selanjutnya mengenai hal ini, bisa juga di simak dalam penjelasan Ust. Adriano Rusfi sebagai pemateri selanjutnya.


Jangan lebay mengajarkan agama bersama Ust.Adriano Rusfi

Pada pukul 10.00 pagi materi dilanjutkan dengan pemateri kedua, Ust. Adriano Rusfi. Psikolog lulusan UI kelahiran 1964 ini kembali memesona saya dengan konsep-konsep parentingnya yang begitu sederhana dan praktis.


Saya paling demen nih, dengan cara mengajarkan anak yang prosesnya alami. Saking alaminya, sampai-sampai Ust.Adriano pernah mendapat komplain dari salah satu dari 4 anaknya.

“Kita kok rasanya nggak pernah diajarkan agama ya sama Abi?” ungkap anaknya suatu hari. 

Kocak kan, bagaimana seorang ustad ‘difitnah’ tidak pernah mengajarkan agama terhadap anaknya. Anaknya loh ini yang ngomong. Untung kakaknya membantu menjelaskan, bahwa gaya si Abinya mengajarkan agama memang seperti itu. Nggak lebay dalam mengajarkan agama.

Memang bagaimana gitu mengajarkan agama yang tidak lebay itu?

Berikut Ust. Adriano mencontohkan gayanya mengajarkan agama ke anak. Ia merasa tidak pernah terlalu cerewet soal menyuruh anak sholat. Cukup diingatkan saja untuk sholat. Paling jawab anaknya, “Ntar” atau “5 menit lagi.” Nah di sini pentingnya hal seperti ini menjadi tanggung-jawab seorang ayah. Biasanya kalau ibu yang memerintah, kalau jawabannya seperti itu bisa panjang urusannya dicerewetin. Padahal urusan agama itu tidak bisa pakai dicerewetin. Urusan agama itu urusan hati. Urusan kedekatan dengan Allah.

Kembali ke cerita anak yang di suruh sholat. Suatu saat si anak memerlukan uang dalam jumlah yang cukup besar. “Bi, minta uang dong,” kata si anak.
“Nanti ya kalau Allah memberi rejeki,” jawab Abinya.
“Kapan?” desak si anak.
“Coba minggu depan deh.”
Seminggu berlalu, si Abi masih belum dapat rejeki diminta menunggu beberapa hari lagi.
Beberapa hari lagi ditagih lagi, si Abi masih tetap belum bisa menyediakan uang yang diminta.
“Abi kapan sih ada rejekinya, kok lama banget dikasihnya sama Allah?”
“Kalau kamu diminta Allah sholat bagaimana? Suka di ntar-ntar nggak? Nah mungkin sekarang rejekimu lagi di ntar-ntar sama Allah.” - SKAK!

Menurut Ust. Adriano, saat anak umur dibawah 7 tahun, sebaiknya ditanamkan dulu akidah atau kecintaan kepada Allah. Jangan dulu syariah seperti hapalan ini itu, jilbab, dan label-label lain. Kenalkan dulu mengenai Allah dalam perilaku sehari-hari. Hal ini memang sulit, karena tidak bisa terukur. Tapi efeknya akan terasa jauh lebih langgeng.

Tips keren lain untuk mengenalkan akidah pada anak adalah dengan membacakan doa dengan keras-keras. Bukan meminta mereka mengapalkan, namun mengucapkannya dengan keras saja. Bila perlu dengan artinya.

Misalnya saat memulai setiap pekerjaan dengan ucapan Bismillahirrahmannirrahim - Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Saat terkena musibah dengan ucapan Innalillahi wainna ilahi rojiun - Sesungguhnya kami adalah kepunyaan Allah, dan hanya kepada-Nya lah kami kembali.
Saat bersyukur dengan ucapan Alhamdulillah - Segala puji bagi Allah.
Saat menyesal dengan ucapan Astagfirullah alazim - Aku memohon ampunan kepada Allah.
Saat kagum dengan ucapan Masya Allah - Allah telah berkehendak akan hal itu.

Demikian juga dengan doa-doa. Tidak perlu meminta anak untuk menghapalkannya. Cukup mempratekkannya saja sendiri. Insya Allah lama kelamaan anak akan memasukkan ke dalam kepalanya tanpa merasa digurui. Jadi anak tidak menjadi eneg dengan agama.

Ada fenomena yang unik yang disampaikan oleh aktivis mesjid Salman ini. Mengenai bahwa kebanyakan aktivis Salman bukanlah anak seorang aktivis mesjid. Banyak yang baru tahu Islam hanya dalam kajian-kajian terbatas. Mereka bukan orang yang dari kecil sudah dijejali dengan agama. Namun kemudian mereka menjelma menjadi pribadi-pribadi yang semangat Islamnya berkobar-kobar.

Di mana uniknya?

Nah ternyata kebanyakan, anak-anak para aktivis Salman ini tidak mau jadi aktivis mesjid seperti orang tuanya. Ini persis seperti yang disampaikan dalam video Nouman Ali Khan di atas. Jadi ini sebenarnya fenomena yang umum juga. Bukan hanya terjadi di Salman, namun juga terjadi di berbagai belahan dunia.

Betapa anak-anak ini eneg dengan agama. Agama tidak lagi muncul sebagai solusi yang memberikan pesona dan kekaguman kepada penganutnya. 

Ia hanya menjadi doktrin yang tidak bisa memberikan apa yang dibutuhkan oleh manusia.

Mengajarkan agama itu ada dosisnya. Jangan berlebihan. 

Anak-anak SDIT itu dijejal puluhan jam dengan ilmu agama. Saat remaja, bukan tidak mungkin mereka kalah keislamannya dengan yang hanya mengaji 2 jam/minggu namun dengan sepenuh hati.

Islam itu sebenarnya sudah fitrah. Tidak perlu didoktrinkan. 


Pembiasaan itu dalam psikologi bahkan hanya untuk hewan. Bukan untuk manusia yang punya hati dan perasaan.

Sholat itu memang beban. Makanya orang malas melakukannya. Beban itu hanya akan terasa ringan jika dilakukan dengan rasa cinta dan senang. Coba saja praktekkan ke anak yang sulit bangun untuk sholat subuh. Sekali waktu cobalah dengan memintanya bangun untuk pergi ke tempat yang ia sukai. Pasti ia akan bangun dengan semangat dan sukacita. Rasa itu lah yang perlu dibangun dalam diri anak-anak. Dan itu tidak bisa dengan cara yang berlebihan.


Anak-anak yang memimpin peradaban

Kita membutuhkan anak-anak yang bisa memimpin peradaban. Bukan hanya yang bisa menghancurkan peradaban dan tidak tahu bagaimana mengisinya. Anak-anak yang mampu memetakan masalah dan mendapatkan solusinya dengan agama.

Apa sih sebenarnya yang di sebut masalah itu?

Masalah adalah selisih antara tujuan dengan kondisi yang ada saat ini. Masalah adalah jarak antara mimpi dengan kenyataan. Anak sering tidak mengenal masalah yang menghadapi mereka karena mereka kehilangan arah dan tujuan. 

Seperti masalah bangsa ini bukan kemiskinan, namun bagaimana caranya mewujudkan kemakmuran. Jangan sampai kita disibukkan oleh masalah-masalah semu untuk mengalihkan perhatian kita kepada tujuan peradaban yang lebih luhur.

Sejujurnya saya sendiri jadi teringat segala isu yang beredar di sosial media. Rasanya itu juga tidak ada satu pun yang sebenarnya menjadi target-target penting saya dalam tahun ini. Tapi entah kenapa bisa-bisanya saya menghabiskan waktu membaca komentar-komentar tidak penting dari sejumlah pengamat dadakan untuk isu-isu seperti itu. Ini baru namanya benar-benar pengalihan isu. Dan begitu mudahnya kita terpedaya.

Pendidikan anak adalah investasi masa depan termahal

Jangan pernah sekali-kali merasa rugi menginvestasikan waktu kita untuk bersama anak-anak. Ust.Adriano Rusfi menceritakan mimpinya yang tidak tanggung-tanggung. Memiliki karir bagus, bahkan meraih nobel! 

Mengaku memilih Psikologi UI hanya karena tidak diterima di jurusan geologi ITB dan UGM. Pria 4 anak ini berjanji untuk menampung air mata mereka yang menangis karena tidak diterima di Psikologi UI, dengan berusaha menjadi lulusan psikolog terbaik dari kampusnya. Namun kemudian waktunya habis untuk mendidik anak-anak dan mimpi-mimpi itu menjadi terbengkalai.

Apakah ia menyesal? Merasa rugi? Tidak! Ia tidak merasa rugi sama sekali. Sebenarnya ilmu apapun akan selalu bisa digunakan untuk mendidik anak-anak di rumah.

Beliau sempat diundang sebuah korporasi untuk tema industri ramah keluarga. Ia merekomedasikan untuk perusahaan tidak meminta karyawannya mengejar karir di usia di bawah 40 tahun. Biarlah pada usia itu mereka fokus dulu ke keluarga. Tidak perlu terlalu dipusingkan dengan rumah atau karir dulu. Ijinkan anak-anak untuk masuk surga dengan membiarkan mereka belajar mengenai kesulitan hidup. Banyak ilmu penting di situ.

Adalah tugas seorang ayah untuk menghasilkan visi, misi, dan strategi dari sebuah keluarga. Mau dibawa kemana arahnya keluarga itu? Jadi bisa diukur sudah sejauh mana keluarga itu berjalan. Jika mau ke Jakarta dari Bandung, apakah saat ini sudah sampai KM 88 kah? Atau sudah sampai Karawang kah? Atau malah lari ngos-ngosan di tempat?

Jangan suruh ibu yang mengurus hal ini! 

Karena ibu juga sudah banyak urusannya dengan keseharian mengurus rumah tangga. Perlu ayah yang memberikan arah. Jangan sampai seorang ayah pandai menyusun visi, misi, dan strategi perusahaannya, tapi tidak punya bayangan bagaimana visi, misi dan strategi keluarganya. Padahal ia yang akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah. Bukan istrinya, bukan atasannya, apalagi guru anak-anak di sekolah. 

Bukan menakut-nakuti ya, tapi memang banyak kisah kehancuran sebuah keluarga karena hilangnya fungsi ayah dalam sebuah keluarga. Bukan berarti ayahnya tidak ada, tapi hanya tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Ibu jadi ayah, ayah jadi ibu. 

“Itu tanda akhir jaman. Tapi kalau bisa kita tidak perlu lah untuk mempercepatnya,” canda sang ustad.

Di sini saya pikir bahwa sebenarnya kita perlu lebih banyak sekolah menjadi ayah daripada sekolah menjadi ibu. Betapa peran seorang ayah besar sekali dalam keluarga. Betapa banyak keluarga yang salah kaprah bahwa peran seorang laki-laki dalam keluarga hanya dibatasi untuk masalah mencari nafkah. Sementara urusan yang lain menjadi PR ibunya. Bagaimanapun, ini menjadi PR bagi para ibu untuk mendidik anak-anak lelakinya.

Wah tidak terasa oleh-oleh ini sudah 2000 kata lebih. Materi Menemukan Peran Peradaban bersama Kang Muhammad Firman, akan ditulis terpisah ya. Semoga bermanfaat dan bisa dijadikan bahan renungan dalam mengasuh putra-putri kita tercinta.


Shanty Dewi Arifin
Shanty Dewi Arifin Mama yang sedang semangat belajar menulis demi bisa bayar zakat sendiri.

5 komentar untuk "Belajar Parenting bersama Nouman Ali Khan"

Comment Author Avatar
Terimakasih banyak sharingnya...
Comment Author Avatar
Alhamdulillah . . . terima kasih untuk tulusan padat dan berisi. Cheese Teteh . . .
Comment Author Avatar
Tulisan mb bermanfaat sekali, saya tunggu tulisan2 selanjutnya
Comment Author Avatar
Saya jadi merasa punya teman. Selama ini kalau ketemu teman atau saudara sering keki kalau ditanya, 'Qia sudah hapal apa? Kok Aqsha nggak pakai jilbab?' Kayak jadi beban buat saya saya yang guru ngaji kok anaknya nggak diajarin agama. Padahal saya sendiri baru mulai lancar ngaji juga pas usia lewat dari 5 tahun. Toh anak Saya skrg juga selalu minta sendiri pakai jilbab tanpa Saya suruh. Sampai di profil IG Saya tulis kalau Saya ini Ibu apa adanya biar gak diteror orang-orang krn anaknya belum hapal juz 'amma.
Comment Author Avatar
Tuntutan orang-orang kadang memang berat ya Zu. Benar-benar ujian kesabaran untuk orang tuanya.