Mengapa Kita Tidak Bisa Minta Maaf Dengan Tulus Seperti Anak Kecil?



Ketika akan mencuci baju pagi ini, saya menemukan sebuah kertas terlipat di saku rok Sasya. Padahal jarang-jarang loh saya dengan rajinnya meriksa saku. Ah si mamah yang satu emang rada pemalas kalau urusan seperti ini. Alhasil, kadang hasil cucian jadi ada potongan tissue atau kertas. Yang paling sering sih uang kertas dan koin. Entah kenapa saya suka lupa dan malas aja buat memeriksa saku pakaian sebelum dimasukkan ke mesin cuci.

Tapi tadi pagi, kebetulan saya merasa ada sesuatu di saku rok merah putih Sasya. Pas saya rogoh, ternyata ada selembar kertas dengan gambar dan tulisan anak-anak.

Surat:

Sasya maafin aku sama Yunisna ya!!! 
Karena ngebuat kamu kesel, bete, dan marah. (emoticon muka sedih)
Aku minta maaf banget. Nanti aku kasih surprise kamu.
Pokoknya bagus deh. Tapi ini hari Senin ya!

Dari Nicky.

Ah…. sweet banget ya anak-anak.

Saya lupa kapan terakhir merasa bersalah dan minta maaf dengan tulus sama orang lain. Mengakui kalau saya salah dan berusaha berbaikan sama orang lain itu tidaklah mudah untuk dilakukan.

Kalau menurut saya, rasa bersalah sering sulit untuk diakui. Mungkin karena ego. Rasanya lebih sering kita yang benar dan orang lain yang salah. Kita adalah pihak yang selalu terzolimi dan orang lain yang selalu menzolimi. Hidup kita penuh penderitaan. Duh….lebay banget lah.

the subtle art of not giving a f*ck
Udah baca buku ini?


Kalau kata Mark Manson dalam buku larisnya Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat (Grasindo, 2018) menyebutnya sebagai Trend Menjadi Korban. Tanpa sadar, kita merasa lebih nyaman kalau meletakkan kesalahan pada pundak orang lain daripada memiliki keberanian untuk mengakui kesalahan kita sendiri.

Ketika kita meletakkan kesalahan pada orang lain, kita merasa menjadi pihak yang benar dan baik secara moral, menurut Manson. Apalagi di zaman sosial media seperti sekarang. Trend Menjadi Korban ini bisa viral dengan cepat dan membuat mereka yang jadi korban seperti merasa mendapat pembenaran dan dukungan.

Mark Manson lalu mengutip tulisan kartunis politik Tim Kreider di New York Time op-ed: “Luapan KEMARAHAN seperti banyak hal lainnya terasa enak, tapi setelah beberapa lama, itu akan MENELAN KITA DARI DALAM.”

Kebetulan sekali episode Oshin kemarin pagi juga membahas soal memberi maaf ini.

Heran nggak sih lihat ada manusia kaya Oshin. Yang kayanya selalu baik kepada semua orang. Mau orang itu menjahati dia, tetap saja Oshin akan minta maaf kepada orang tersebut.

Ternyata inilah curahan hati Oshin yang melatarbelakangi sikapnya tersebut.

“Jika kau membenci atau menyimpan dendam terhadap seseorang, kaulah yang merasakan sakit. Sebelum membenci seseorang, kau harus memikirkan POSISI orang tersebut dan MEMAAFKAN.”

Oshin quotes tentang memaafkan


Sikap ini yang membantu untuk tidak marah bahkan minta maaf kepada kakaknya yang begitu menzoliminya. Oshin mengerti beban kakaknya yang selalu hidup dalam kemiskinan dan harus bertanggung-jawab terhadap keluarganya. Kakaknya nggak punya kesempatan untuk hidup bebas seperti dirinya. Oshin tidak marah ketika kakaknya begitu pelit untuk memberinya jatah makanan, padahal kan rumah kakaknya itu merupakan jerih payah Oshin sebagai penata rambut di Tokyo.

Kalau dilihat perjalanan tokoh Oshin - walau ia adalah tokoh fiksi, mungkin ini tipe orang yang bisa atau punya hak untuk marah atas ketidakadilan yang diterimanya. Tapi ia memilih untuk tidak marah. Bukan demi orang lain. Tapi demi kebahagiaan dan kesehatan mentalnya sendiri. 

Buat yang penarsaran dengan serial Oshin, bisa langsung nonton saja di TVRI setiap Senin-Jumat pukul 10.00 - 11.00 wib.


Surat dari Nicky ke Sasya di atas mengajak saya untuk melepas mental korban dan melepaskan kemarahan yang mungkin tidak pada tempatnya. Penting untuk mencoba melihat sisi kesalahan sendiri yang bisa digunakan untuk memperbaiki hubungan dengan orang lain. Meminta maaf bukanlah hal yang tabu untuk dilakukan. Bukan untuk orang lain, tapi untuk diri sendiri...

Terkadang anak-anak memang guru yang baik untuk para orang dewasa.



(600 kata)
Shanty Dewi Arifin
Shanty Dewi Arifin Mama yang sedang semangat belajar menulis demi bisa bayar zakat sendiri.

2 komentar untuk "Mengapa Kita Tidak Bisa Minta Maaf Dengan Tulus Seperti Anak Kecil?"

Comment Author Avatar
Ih teteh..
Nampol banget tulisannya..
Emangnya anak anak itu ya..
Jadi malu...
Makasih ya teh..
Tulisannya renyah tapi ngena banget...
Comment Author Avatar
Jadi inget kata orang umur sudah dewasa tapi sikap dan perilaku masih seperti anak-anak. Tidak ada kata-kata yang indah selain meminta maaf. Tetap menginspirasi tulisannya ibu :)