Ketika Saya Merasa Jadi Ibu Paling Payah Sedunia


Pernah merasa jadi ibu paling payah sedunia? 

Anaknya kok begini sih? 
Kok dibiarin aja sih anaknya seperti itu?

Saya pernah pada posisi itu. 


Ketika anak pertama saya lahir di tahun 2007, status ibu adalah sebuah kebanggaan sekaligus kutukan. Kenapa? 


Ternyata ada pakem-pakem yang harus diikuti untuk menjadi seorang ibu yang baik. Seorang ibu dituntut untuk bisa mendidik anaknya menjadi anak yang manis, bersikap sopan, tenang, dan tidak ribut. Tidak boleh makan berantakan, meletakkan mainan selalu di tempatnya, dan penurut. Kita ini bicara soal anak manusia ya, bukan patung.


Sayangnya, anak saya tidak seperti itu. Raka lahir sebagai bayi yang aktif. Bahkan di hari kelahirannya, tangannya sangat kuat memegang selang yang melilit tubuh mungilnya. Di usia 8 bulan, geraknya begitu lincah. Perjuangan banget lah untuk memakaikan popoknya. 


Sepanjang hari Raka hampir tidak bisa diam dan sangat aktif bergerak. Salah satu hobinya adalah berputar-putar sampai pusing dan terjatuh. Tapi seringnya walau lama berputar, dia nggak jatuh juga. Kita yang lihat yang pusing dibuatnya. 


Suaranya juga sangat keras dan nyaring. “Stereo” kalau istilah neneknya. Lumayan capek mendengar celotehnya seharian. Rasa ingin tahunya pun sangat luar biasa. Semuanya dibongkar dan dioprek. 

Mungkin karena anak pertama yang tidak bisa dibandingkan dengan siapa-siapa, saya menilai tingkah laku Raka wajar-wajar saja. Tapi ternyata orang-orang di sekitar Raka mulai terganggu dan menyarankan sejumlah hal. 


“Mungkin dia Autis, coba bawa ke psikolog.”

“Coba anaknya diajarin untuk duduk diam.” 
“Anak jangan dibiarkan seperti itu, harus dilatih untuk bisa tenang.”

Ini kita bicara anak usia BATITA ya. Bawah Tiga Tahun!  



Raka  saat sekitar 3 tahun.

Lantas apa yang saya lakukan?


Yang bisa saya kerjakan adalah bermain berdua dengan Raka di tempat yang aman. Hanya kami berdua. Tanpa orang-orang yang akan merasa terganggu. Bersama saya, Raka bisa bebas berekspresi apa saja. Boleh teriak, boleh lari-lari, boleh loncat-loncat, boleh nonton film, boleh makan apa saja yang ia inginkan. 


Waktunya pasang kacamata kuda

Saya memasang kacamata kuda untuk mengurus Raka. Berusaha membatasinya dari lingkungan luar yang penuh dengan larangan dan aturan. Saat itu saya percaya, anak perlu ruang untuk bisa mengeluarkan ‘warnanya’ sendiri. Saya nggak ingin aturan yang diterapkan dengan kaku atau bahkan sok pintar, menjadi merusak ‘warna’ alaminya. Warna khusus yang dititipkan Allah padanya. 

Masa 3 tahun pertama, adalah masa-masa dunia sepertinya hanya berisi Raka, Abahnya dan saya. Saya selalu tegang kalau harus membawa Raka bertemu orang lain, karena khawatir keberadaan Raka akan dianggap mengganggu. 


Disinilah peran seorang pendamping diperlukan. Suami membantu saya bisa mengambil keputusan yang tepat untuk Raka. Saya jadi bisa nyaman dan tenang untuk bersama Raka seharian.



Kelahiran seorang adik

Saat Raka berusia 3 tahun, adiknya lahir. Kini kami berempat dengan seorang bayi. Saat itu saya mencoba aktivitas baru yang Raka sebut sebagai “Berpetualang.” Kami biasa jalan-jalan bertiga dengan Angkutan Kota. Saya selalu memilih duduk di depan sambil menggendong bayi usia sekitar 3 bulan (sebenarnya sejak usia 10 hari, Sasya si adik sudah pernah diajak jalan-jalan naik kendaraan umum) dan anak laki-laki umur 3 tahun. 

Raka cukup anteng kalau di mobil. Dia asyik melihat setiap kendaraan yang lewat sambil sibuk menyebut merek mobil yang dilihatnya. Raka bisa hafal merek mobil hanya dengan melihat satu sisi mobil saja. “Toyota Altis, BMW, Kijang Innova, Mercy….,” celotehnya riang mengucapkan jenis mobil yang dilihatnya di sepanjang jalan. Tempat parkir adalah surga buat Raka. Karena banyak mobil di sana. 


Tidak ada tujuan pasti saat kami jalan-jalan. Hanya mengikuti rute trayek angkutan kota saja. Terkadang kalau ada tempat yang menarik seperti Alun-alun kota atau Playground, ya kami berhenti untuk meluruskan kaki. Untuk berhemat, saya selalu bekal air minum dan makanan dari rumah. Sementara Sasya si adik bayi, cukup ASI di badan Mama saja. ASI memang penyelamat buat Mama yang malas bawa banyak barang.


Sayangnya acara jalan-jalan ini menjadi lebih melelahkan setelah Sasya bisa jalan dan bukan bayi lagi. Si Mama yang kerempeng ini mulai merasakan sulitnya membawa 2 anak yang aktif dengan kendaraan umum. Itulah saat kami mulai menghentikan kebiasaan “Berpetualang.”


Hobi lain Raka saat sebelum sekolah adalah menonton film. Cars dan Finley The Fire Engine adalah favoritnya. Nontonnya bukan 1 atau 2 kali. Tapi ratusan kali sampai dia hafal setiap dialognya. Alhasil, gaya bahasa Raka pun jadi seperti dialog di film-film itu. 


Ini juga bikin Raka jadi makin sulit diterima anak-anak seusianya. Lah ngomongnya pakai bahasa Indonesia yang baik dan benar seperti dubbing-an film. Nambah satu lagi cap yang menempel di jidat saya: Ibu yang membiarkan anaknya nonton TV melulu.





Keputusan Salah

Ketika Raka menginjak usia 4 tahun 3 bulan, saya membuat sebuah keputusan yang kurang tepat dengan menyekolahkan Raka ke TK. Seharusnya saya sabar saja menunggu 1 tahun lagi sehingga Raka nantinya bisa masuk SD di usia 7 tahun 3 bulan. Tapi saat itu adiknya berumur 1 tahun. 

Saya lagi capek-capeknya menemani anak yang baru belajar jalan. Nggak kuat rasanya mengasuh 2 balita selama 24 jam penuh (#MamaManja). Saya perlu sedikit time off dengan memasukkan Raka ke TK 1 tahun lebih cepat. 


Benar saja, rasa “dibuang” itu sampai ke anak. Raka belum ikhlas untuk sekolah dan membiarkan ibunya bersenang-senang dengan si adik di rumah. Perlu waktu 3 bulan untuk Raka bisa sekolah tanpa ditemani. Setelah 3 bulan, masih ada drama nangis histeris di pagar sekolah ketika dipaksa berpisah dari mamanya. Walau setelah ditinggal 1 jam, dia baik-baik saja sih. Baru sejak itu Raka bisa sekolah tanpa ditemani.


Apakah masalah beres?


Belum ternyata. Ketika menjelang akhir TK tahun pertama, Raka punya hobi memukul temannya. Entah kenapa tangannya begitu mudah melayang untuk menyakiti orang. Sekilas seperti tidak bisa mengontrol gerak tangannya. Ke adiknya pun seperti itu. Saya baru sadar setelah mendengar cerita gurunya. 


Alhamdulillah saat itu ada guru TK Raka yang rutin membantu memberikan masukan dan berdiskusi untuk menangani kasus Raka. Gurunya tahu, kalau saya nggak bisa ke sekolah sering-sering karena punya bayi. Jadilah si Bu Guru yang sering berkunjung ke rumah untuk membahas kasus Raka. Peran guru yang mau meluangkan waktu seperti ini sangat lah berarti. 


Pada saat ini, kasusnya berbeda dengan waktu Raka kecil dimana saya bisa pasang kacamata kuda dengan tidak mendengar masukan orang lain. Kali ini masalahnya lebih serius karena menyangkut kebahagiaan si anak. 



Anak saya memukul karena tidak bahagia. 

Ketika Raka menyakiti orang lain, orang lain jadi takut dan menjauhinya. Ia makin marah dan sedih. Memukul adalah ungkapan emosinya. 


Dari hasil diskusi, saya menemukan akar masalahnya adalah pada hubungan Raka dan saya yang seperti putus sejak kelahiran si adik. Raka masih butuh Mamanya. Dia belum siap untuk dipisah. Dia marah. 


Jadi saya coba minta waktu khusus sama suami untuk bisa lebih banyak waktu bersama Raka. Hanya berdua saja, tanpa adiknya. Saya baru ingat, kalau sejak Sasya lahir, saya tidak pernah lagi menghabiskan waktu hanya berdua dengan Raka saja seperti sebelumnya. 


Saya menggunakan waktu mengantar ke sekolah untuk bisa berdua bersama Raka. Sasya di rumah sama Abahnya. Begitu juga jam pulang sekolah. Sasya dipegang dulu sama Asisten di rumah, sementara saya menjemput Raka ke sekolah. Jarak rumah ke sekolah yang hanya sekitar 5 menit jalan kaki itu ternyata sangat mujarab untuk mengobati luka emosional Raka.


Saya ingat sekali betapa senangnya ia memegang tangan saya sepanjang jalan. Kedua tangan saya hanya untuknya. Tidak sambil memegang si adik. Setiap malam saya  juga mendoakan Raka agar menjadi anak yang sehat dan bahagia, sambil menciumi tangan dan ubun-ubunnya kala ia tidur. Masalah memukul itu pun akhirnya berlalu setelah 3 - 6 bulan.


Masa-masa berat menemukan “warna” alami anak ini mulai terasa ringan saat Raka masuk usia 7 tahun. Dari usia 7 tahun hingga kini di usia 11 tahun, Raka sudah bisa menemukan kekuatan dan kelemahannya. Ia bisa memotivasi diri untuk belajar dengan mandiri, memiliki percaya diri yang baik, memiliki daya ingat yang sangat baik, konsisten dalam banyak hal (seperti sholat di awal waktu), tekun dalam mengerjakan hal yang ia sukai, kuat pendirian, dan sangat jarang sakit.


Saya tahu perjalanannya masih panjang. Masih banyak yang bisa terjadi kedepannya. Sebagai orang tua, Abahnya dan saya hanya bisa membantunya dengan doa agar jalan hidupnya bisa selalu diterangi oleh Yang Di Atas. 


Dari pengalaman, saya jadi menyimpulkan kalau menjadi orang tua itu begitu unik. Setiap anak membawa warnanya sendiri. Pesan suci dari Sang Pencipta agar bisa bantu diasah oleh orang tuanya. 



Rasanya kurang bijak ketika sebagai orang tua kita ter-DOKTRIN untuk mengikuti tekanan lingkungan mengenai kondisi anak kita. 

Setiap keluarga berhak untuk mendapat ruang yang cukup untuk mengembangkan potensi keluarga mereka tanpa didikte oleh pihak lain.  Baik itu orang tua, tetangga, tetua, pakar parenting, atau bahkan orang asing. Bisa jadi langkah keluarga ini salah, tapi biarlah mereka belajar dari kesalahan tersebut dan mendapatkan hikmahnya.




#ODOPNovemberChallenge

Tulisan ini pernah diikut sertakan dalam lomba 1001 Wajah Ibu: Memoar Pengasuhan Anak yang diselenggarakan oleh Ibu Profesional Jakarta pada 10-10-18.
1400 kata
Shanty Dewi Arifin
Shanty Dewi Arifin Mama yang sedang semangat belajar menulis demi bisa bayar zakat sendiri.

2 komentar untuk "Ketika Saya Merasa Jadi Ibu Paling Payah Sedunia "

Comment Author Avatar
Menariik sekali membacanya ya Allah kumaha anu 12