Ketika Tere Liye Berbagi Rahasianya Sebagai Penulis
“Saya Tere Liye. Saya laki-laki. Nama asli satu kata: Darwis. Kakaknya juga bernama 1 kata, Eliana. Lahir di pedalaman Sumatra. Seorang akuntan profesional lulusan Akutansi UI.”
Singkat. Padat. Jelas. Begitu kata pembuka yang disampaikan laki-laki berkaus oblong santai di Sekolah Muhammadiyah Antapani Bandung, pada 11 Mei 2018 lalu. Tidak lupa juga ia juga meminta maaf karena penampilan santainya itu.
Sejujurnya, saya sama sekali tidak terlalu memperhatikan apapun kostum yag dipakai penulis novel Rindu dan Rembulan Tenggelam di Wajahmu ini. Saya ke sini bukan untuk melihat penampilannya berkaos oblong atau berbaju koko, tapi ingin mendengar kata-kata yang keluar dari mulutnya. Bagaimana ceritanya orang ini bisa menulis 33 buku yang rata-rata posisinya di rak buku bestseller toko buku?
Tere Liye adalah penulis yang acara talkshownya sering mahal-mahal. Lumayan lah kalau buat kantung emak-emak yang harus nyelip-nyelipin di antara uang belanjaan. Sempat mikir 7 keliling untuk menentukan prioritas antara beli bukunya atau menghadiri acara acara talkshownya. Berkat rekomendasi seorang teman, akhirnya saya mengambil keputusan bagus untuk bisa menyerap ilmu langsung dari penulis yang sudah konsisten menulis novel selama 12 tahun terakhir. Rata-rata 2-3 novel per tahun loh.
Penulis kelahiran Lahat, Sumatra Selatan pada 21 Mei 1979 ini, pertama kali dikenal dari novelnya yang terbit di tahun 2005 berjudul Hafalan Sholat Delisa. Sebenarnya ini bukan novel pertama, melainkan novel ketiga atau keempatnya. Walau belum baca bukunya, mungkin banyak orang yang sudah sempat menonton buku yang telah difilmkan pada tahun 2011 dan dibintangi oleh Reza Rahadian dan Mike Lewis tersebut. Yup, itulah salah satu karya awal novel seorang Tere Liye. Sebuah kisah yang menyentuh tentang seorang anak yang kehilangan ibunya saat bencana Tsunami di Aceh.
Mengapa perlu menggunakan nama pena Tere Liye?
Bagi yang baru mengenal Tere Liye, mungkin ada yang sempat mengiranya perempuan. Maklum, beliau ini irit sekali berbagi informasi pribadi dalam karya-karyanya. Tere Liye memang terkenal tidak pernah mencantumkan biodata dalam setiap buku-bukunya.Padahal kalau saya sih, paling suka kepo biodata seorang penulis. Bahkan menelusuri pengantar dan ucapan terima kasih untuk sekedar merasa dekat dengan si penulis dan mengetahui darimana inpirasi ceritanya berasal. Makanya agak kecewa, setelah membaca novel Rindu setebal 544 halaman, saya tidak menemukan penjelasan apa-apa mengenai penulisnya.
Ternyata Tere Liye memang ingin pembaca hanya fokus pada tulisan dan karyanya. Bukan pada penulisnya. Ia sengaja mengambil nama Tere Liye. Nama perempuan sebagai nama pena. “Kalau masih Agus atau Joko, kan masih terlalu mirip,” akunya.
Kenapa harus pakai nama samaran? Karena menurut beliau, tidak ada koreleasinya antara penulis dengan kisah yang dia tuliskan. Kocak juga ketika ia bercerita bagaimana seseorang bisa asyik membaca novel Tere Liye, tanpa tahu kalau sebenarnya penulisnya tengah duduk disampingnya. Bahkan ada yang sambil ngobrol penasaran kapan lanjutan novel tertentu akan muncul. Sementara saat itu ia tengah mengetikkannya. “Ini lagi ditulis!” katanya dalam hati sambil terus mengetik naskah di perjalanan.
Awal Karir Menulis Tere Liye
Mengaku mulai menulis sejak kecil untuk majalah Bobo. Sayangnya tidak ada satu pun karyanya yang dimuat. Baru di usia SMA ada karyanya yang dimuat di media masa. Budaya menulis semakin kuat setelah berkesempatan menempuh pendidikan di UI. Ketika lulus tahun 2002, ia mulai menulis sebagai pengamat ekonomi di kolom Opini Kompas. Saat itu tidak banyak orang yang mengambil profesi sebagai penulis. Dalam rentang masa 2003 - 2005 tidak banyak buku yang bisa dibeli.Kini sudah 12 tahun berlalu, dan seorang Tere Liye konsisten untuk menjadi penulis novel. Ide menulis fiksi ini terinspirasi dari seorang Buya Hamka.
Kebiasaan adalah kunci menulis Tere Liye
Selama 12 tahun terakhir rata-rata Darwis menulis 2-3 novel per tahun. Apa dia laki-laki pengangguran? Tidak saudara-saudara. Beliau adalah akuntan aktif yang juga punya keluarga. Tapi kok ya sempat?Tere Liye menyampaikan sebuah fakta yan cukup mencengangkan. “Sebagai manusia modern kita sudah menulis 1000 kata per hari,” katanya.
Serius? Ternyata bener loh.
Coba deh hitung kata di status yang kita tulis di sosial media, komentar, obrolan di Whatsapp. Kita bisa dianggap ketinggalan zaman kalau sampai tidak menulis 1000 kata per hari. 1000 kata per hari atau 365 ribu kata per tahun.
Kalau Tere Liye bisa menulis 1 novel Hapalan Sholat Delisa yang panjangnya hanya 50 ribu kata. Kita ternyata bisa menulis 7 novel sepanjang itu dalam 1 tahun!
Jadi kuncinya hanya lah di KEBIASAAN!!!
Sekarang ini menulis adalah kegiatan yang sangat mudah. Nggak perlu seperti Pramoedya Ananta Toer yang jinjing mesin tik ke Pulau Buru. Menulis bisa dimana saja dengan smartphone di tangan. Novel Pergi sepertiganya ditulis dengan laptop dalam KA Argowilis.
Intinya selama ada niat ya pasti ada jalannya.
Belajar menulis ala emak-emak belajar masak
Tere Liye mencontohkan bagaimana cara para ibu belajar memasak. Nggak banyak teori, tapi berlatih memasak selama bertahun-tahun. DIBIASAKAN. Tidak ada kata terlambat membiasakan berlatih secara konsisten. Walau itu memang bukan hal yang mudah.Resep tokcer dari Tere Liye untuk bisa menulis:
Menulislah 1000 kata perhari nonstop selama 180 hari.
Tidak boleh bolos 1 hari pun. Kalau sampai bolos karena sakit atau alasan apapun, ulangi lagi dari hari pertama! 30 hari pertama mungkin hasilnya jelek. 60 hari pertama kacau. Tapi ternyata di 40 hari terakhir, ada juga tulisan-tulisan yang bagusnya. Ada 3 penulis yang sudah Tere Liye hasilkan dengan cara seperti itu.
Nah kalau kamu berhasil melakukan hal itu, hubungi Tere Liye. Ia akan merekomendasikanmu ke penerbit. Jangan salah ya, rekomendasi Tere Liye akan selalu diperhatikan oleh penerbit seperti Republika dan Gramedia.
Nah baru setelah itu kita masuk ke next level bernama Riset. Adalah mustahil menjadi penulis jika kamu bukan pembaca buku. Catat ya, BUKU. Bukan status sosial media. Status sosial media itu bukan literasi, tapi sekedar celoteh.
“Loh tapi itu kan bisa jadi buku?”
"Ya bisa saja sih kalau ada yang mau beli dan baca," katanya.
Hal penting lain adalah banyak jalan-jalan. Sejak umur 20-an Tere Liye sudah nyungsep ke Vietnam. Jalan-jalan dan bertemu banyak orang akan benar-benar memperkaya tulisan. Penuhilah kepala dengan amunisi sebelum mulai menulis.
Untuk Rindu, riset dilakukan 1 tahun lebih. Saat itu risetnya dilakukan barengan untuk 3 novel. Sebenarnya riset terbaik adalah datang langsung ke lokasinya. Namun tidak semua bisa seideal itu.
Menulis pakai kerangka atau mengalir saja?
Talkshow yang diadakan di aula Sekolah Muhammadiya Antapani ini memiliki format santai dimana Tere Liye menjawab setiap pertanyaan dari para peserta yang duduk di sejumlah meja bundar. Rata-rata peserta adalah pembaca buku setia Tere Liye. Itu terbukti dari kebanyakan peserta yang membawa setumpuk buku karyanya. Pertanyaan seputar hubungan tokoh yang satu dengan tokoh yang lain pun diajukan beberapa orang."Itu hanya fiksi!" jawab Tere Liye yang sepertinya begitu sering mendapat pertanyaan setipe. Terus terang saya kagum juga dengan para peserta. Saya sendiri baru membaca 2 karya Tere Liye. Ternyata para peserta talkshow yang rata-rata usia SD ini (serius loh SD!) sudah melahap sejumlah karya Tere Liye yang tebal-tebal seperti serial Pulang, Pergi, Matahari, Bulan, dan lain-lain.
Jadi siapa yang bilang anak-anak tidak suka membaca? Setidaknya bukan anak-anak yang hadir di ruangan ini.
Selain pertanyaan soal tokoh-tokoh dalam novel, ada juga pertanyaan soal teknis menulis. Seperti pertanyaan apakah menulis novel itu perlu dengan menulis kerangka atau dibiarkan lepas mengalir?
Menurut Tere Liye semuanya kembali ke kebiasaan masing-masing penulis. Dalam menulis novelnya, kerangka menulis Tere Liye telah jadi dikepalanya. Saat menulis, ia hanya tinggal menuliskannya saja. Tanpa mengedit. Kadang kalau lupa, ia baru menyelipkannya belakangan.
Seperti yang terjadi dalam novel Ketika Rembulan Tenggelam di Wajahmu. Ada telaah yang menyebutkan bagaimana alur maju mundur yang ditulis dalam novel tersebut. Aslinya itu karena memang lupa aja. Tere Liye mengaku kalau menulis lurus maju kedepan seperti gerbong kereta api. Kalau ada yang perlu diselipkan, tinggal seolah-olah flashback. Padahal sih murni lupa.
Menulis dengan kerangka atau tidak dengan kerangka sebenarnya sama bagusnya. Ada kelebihan dan kekurangannya. Dengan kerangka membuat tulisan menjadi terlalu rigid. Tanpa kerangka, tulisan menjadi mengarah ke mana-mana. Kembali ke masalah kebiasaan. Analoginya kalau buat ibu-ibu yang sudah mahir memasak, tidak perlu lagi nenteng resep kemana-mana. Semuanya sudah jadi di kepala.
Tiba-tiba merasa nelangsa, lah diriku masak nggak bisa, nulis nggak bisa.
Pemerintah dan perbukuan
Tere Liye paling malas bicara soal pemerintah dan perbukuan. Menurutnya usaha pemerintah masih jauh dari maksimal kalau benar-benar ingin meningkatkan kecerdasan literasi masyarakat. Jika saja pemerintah memang niat, cukup hapus PPN dan subsidi kertas, beri kemudahan impor mesin cetak. Ini yang akan bisa mengurangi harga buku hingga 30%.Ia masih prihatin bagaimana akses buku ke daerah pedalaman. Kalau di kota si mudah. Sekarang ini orang tidak berat untuk menghabiskan 100 - 200 ribu untuk makan, tapi tidak untuk beli buku. Ini memang sangat memprihatinkan.
Ia jadi teringat bagaimana guru SMAnya mengajar menulis. Tidak perlu ujian dengan pertanyaan teori berbahasa a, b, c. Tapi cukup 1 saja. Tuliskan 1 pucuk surat untuk idolamu. Maka teori akan hidup dalam prakteknya.
Antri minta tandatangan Sang Penulis. Kalau lihat ada yang bawa setumpuk buku kaya begitu kok ya jadi minder. (Sumber foto: FB SD Muhammadiyah 7) |
Mengenai judul
Bikin judul itu memang susah-susah gampang. Lumayan kocak juga ketika Tere Liye cerita mengenai kesalahannya memberikan judul pada novel Hapalan Sholat Delisa. Sempat bahagia ketika diinformasikan novelnya bisa dibeli di Gramedia, ia pun langsung ke toko buku tersebut. Setelah di cari di rak buku baru, ternyata bukunya nggak ada. Di bagian buku novel pun tidak ada. Apalagi di bagian rak bestseller. Asli nggak ada.Menyerah, ia pun bertanya ke penjaga toko mengenai buku tersebut. Ternyata si novel kebanggaan meringkuk manis di bagian buku sholat, bersebelahan dengan buku tuntunan sholat.
Mana ada yang komentar: “Apaan ini Hapalan sholat Delisa. Sholat apa ini? Bidah ini Bro!”
Kebayang dosanya Tere Liye bikin buku bidah.
Belajar dari buku itu, kini Tere Liye sekarang sudah lebih jago dalam membuat judul. Seperti novel Rindu. Dilengkapi dengan blurp yang bisa sangat menyentuh para pembaca.
“Apalah arti memiliki, ketika diri kami sendiri bukanlah milik kami?
Apalah arti kehilangan, ketika kami sebenarnya menemukan banyak saat kehilangan, dan sebaiknya kehilangan banyak pula saat menemukan?
Apalah arti cinta, ketika kami menangis terluka atas perasaan yang seharusnya indah?"
Padahal isinya tentang perjalanan haji di tahun 1930-an.
Atau novel Pulang yang awalnya judulnya si Babi Hutan. Kan repot kalau Gramedia harus bikin rak buku haram biar nggak nyampur.
Bagaimana melatih anak suka menulis?
Tumbuhkan minat baca. Buat anak-anak suka membaca dulu. Kalau menyuruh anak menulis, cek dulu apa guru atau orang tuanya suka menulis dan membaca.Allah sangat baik bagi yang mau benar-benar berusaha. Menulis buku itu bukan keahlian tapi dititipkan oleh Allah. Motivasi atau niat itu kata kuncinya.
Kenapa saya harus jadi penulis?
Ini yang membuatnya masih bisa bertahan walau di bully 3 hari 3 malam urusan quotes atau 2 hari 2 malam urusan komunis. Luruskan niat. 10 tahun dari sekarang kira-kira saya bisa jadi penulis nggak?
Talkshow selama sekitar 1 jam setengah, ditutup dengan ajakan Tere Liye untuk memulai menanam pohon kebiasaan menulis untuk 20 tahun ke depan. Tidak ada kata terlambat!
Siap menanam pohonmu untuk 180 hari kedepan dan menjadi penulis sehebat Tere Liye teman-teman?
4 komentar untuk "Ketika Tere Liye Berbagi Rahasianya Sebagai Penulis"
anakku juga kepingin ketemu darwis ha3 ...