Mengapa saya suka Groningen Mom’s Journal-nya Monika Oktora

Groningen Mom's Journal karya Monika Oktora
Groningen Mom's Journal karya Monika Oktora.
Sebuah buku tentang pengalaman seorang student mom meraih gelar master di Belanda.

Saya masih ingat sensasi ketika awal Februari lalu melihat buku teman saya ini terpajang di rak buku bestseller di Gramedia Merdeka Bandung. Rasanya ikut bangga dan senang sekali. Sampai saya ikhlas mengulurkan Rp 64.800,- untuk membelinya langsung saat itu. Padahal biasanya saya mah orangnya hitungan dan maunya beli buku di toko diskonan saja. #EmakIrit.

Setelah pamer cover buku di sosmed, malam itu saya langsung membaca buku 246 halaman ini. Maunya sih skimming sedikit saja sebelum tidur. Eh… taunya nggak bisa berhenti. Ikut penasaran dengan transformasi Monika dari seorang ibu rumah tangga biasa beranak satu di Planet Bekasi sana, menjadi seorang Master dari University of Groningen, Belanda.


Groningen Mom's Journal karya Monika Oktora halaman 6
Cerita ke Groningen di mulai dari sini...

Tentang Ibu Rumah Tangga yang menjadi Student Mom di Groningen Belanda

Banyak hal baru yang saya dapatkan dalam buku ini. Ini nih yang bikin buku menarik untuk dibaca. Bukan hal-hal klise yang sejuta umat sudah tahu. Jadi apa saja sih yang disampaikan Monika? 


#1 Bagaimana seorang IRT bisa punya ide sekolah di luar negeri?

Mungkin bayangan kita mengenai seorang mahasiswa di luar negeri itu tipikalnya berlatarbelakang  pekerja profesional. Apakah dosen, pegawai pemerintah, pekerja swasta, fresh graduate yang otaknya masih segar, atau bahkan seseorang yang punya punya perusahaan sendiri. 

Tapi Monika ini membuka ceritanya dengan latar belakangnya sebagai Mamanya Runa - yang saat itu berusia 9 bulan, dengan jobdesk membersihkan rumah, mencuci, menyetrika, dan memasak. Monika bahkan mengakunya tipe pesimistis yang memilih menyimpan rapi-rapi mimpinya.

Alhamdulillah, Monika punya suami yang mendukung dan mendorongnya menunjukkan yang terbaik darinya. Monika pun mulai semangat mencoba mencari beasiswa ke berbagai tempat. Walau sempat dikomentari dosennya, “Kamu minta rekomendasi melulu, tapi kok nggak tembus-tembus sih?” (hal 10)

Kalau saya sih mungkin sudah nangis dipojokan dan berhenti berusaha. Tapi Monika sih nggak. Mungkin karena dukungan suami juga ya. Perjuangannya sehingga meraih beasiswa bisa dibaca lengkap dalam buku ini.


#2 Bagaimana sih caranya dapat beasiswa?

Yang saya suka juga dari buku ini, Monika memformat bukunya dalam bentuk catatan waktu yang rapi. Saya jadi tahu bahwa Monika membutuhkan waktu sekitar 6 bulan dari menerima surat pernyataan diterima kuliah di Program Master of Science (MSc) in Medical Pharmaceutical Sciences University of Groningen hingga mendapatkan beasiswa dari kementrian Indonesia.

Monika menceritakan pengalamannya lengkap dengan sejumlah tips yang pasti diperlukan oleh teman-teman yang ingin sekolah keluar negeri. Mulai dari apa yang ditanyakan saat wawancara, apa yang perlu dipersiapkan, dan hal-hal teknis lainnya.


Daftar isi Groningen Mom's Journal
Daftar isi Groningen Mom's Journal yang rapi berdasarkan waktu


#3 Apa yang perlu dipersiapkan untuk sekolah ke Belanda?

Biasanya kan teman-teman yang keluar negeri itu statusnya single. Nah Monika ini bawa rombongan. Ada 1 anak usia hampir 2 tahun, 1 suami, dan 82 kg barang bawaan untuk tinggal minimal 2 tahun. Buat saya menarik sekali membaca bagaimana tegangnya Monika dan suaminya mempersiapkan visa yang tak kunjung terbit hingga H-2 sebelum keberangkatan. Bisa gitu ya ternyata?

Juga bagaimana dengan sekolah anak dan mendapatkan pekerjaan bagi suami? Semua ada ceritanya dalam buku ini. 


#4 Belanda atau tepatnya Groningen itu seperti apa sih?

Saya sendiri juga sebelumnya hanya mengenal Belanda sebagai negeri Kumpeni yang menjajah Indonesia selama 350 tahun. Dalam buku ini, Monika menceritakan seperti apa kehidupan di sana dengan cukup rinci.

Saya jadi teringat dengan pengalaman yang ditulis Mohammad Hatta dalam buku otobiografinya Untuk Negeriku (Penerbit Buku Kompas, 2011). Hatta menuliskan pengalamannya sekolah di Belanda pada tahun 1921 - 1932. Ada banyak kesamaan dari tulisan Monika dan Hatta tentang kopi, roti, dan budaya masyarakat Belanda. Ternyata tidak lekang waktu.

Salah satu yang saya sangat suka adalah cerita Monika soal agendanya orang Belanda yang sangat teratur. Jadi orang Belanda itu bukan on time atau tepat waktu targetnya, melainkan in time atau datang lebih cepat dari jadwal. Wah repot juga kalau orang kaya saya yang biasa jam karet ini kalau hidup di Belanda. 


#5 Bagaimana suasana keagamaan di sana?

Kita selalu penasaran tentang menjadi minoritas di negeri asing. Apa rasanya nggak bisa dengar azan dari mesjid setiap jam sholat? Ternyata cerita Monika seru-seru aja tuh. Komunitas keluarga Muslim mudah ditemui di Groningen. Pengajian anak-anak merupakan salah satu kegiatan rutinnya. 

Dalam blognya, Monika sempat berbagi pengalamannnya naik haji dari Groningen. Aduh…bener-bener jadi kepengen bisa naik haji dari luar negeri. Mungkin pengalamannya yang ini akan kita baca di Groningen Mom’s Journal 2. 


#6 Bagaimana sih pendidikan untuk anak-anak di Belanda?

Nilai plus buku ini adalah karena Monika dengan baik hati menceritakan pengalaman anaknya Runa bersekolah di Groningen. Runa mulai masuk sekolah ketika usianya 2 tahun, saat itu mereka sudah sekitar 6 bulan di Belanda. Mengenai jam belajar, biaya, kegiatan, hingga bahasa, diceritakan dengan lengkap. 


halaman 120 Groningen Moms Journal
Menjadi agen dakwah di negeri orang...


#7 Susah nggak sih jadi student mom di Belanda?

Monika sendiri sebelumnya adalah lulusan Farmasi Klinik dan Komunitas ITB angkatan 2006. Menurutnya suasana kompetitif antara kuliah S1 dan S2 ini berbeda. Entah karena lokasi, strata pendidikan atau bisa jadi umur juga mempengaruhi. Waktu masih S1, suasana kompetitif itu terasa kental. Namun saat S2, yang utama itu berkompetisi dengan diri sendiri mengatasi rasa malas belajar dan mengerjakan tugas, tulisnya. 

Groningen memang tujuan terbanyak mahasiswa Indonesia yang ingin belajar di Belanda. Ada sekitar 300 orang, dengan 100 orang baru setiap tahunnya. Kalau baca cerita Monika, kok ya kayanya enak-enak aja sih jadi student mom. Tapi ya nggak semanis itu juga sih. Monika tetap menceritakan pahit-pahitnya di bab Being Student Mom. Semoga bisa jadi amunisi berharga buat teman-teman yang punya semangat untuk sekolah lagi.

***

Demikian lah 7 kekepoan besar yang terjawab tuntas dalam bukunya Monika Oktora. Masih banyak pertanyaan detil lain yang ia ceritakan dalam buku tersebut. Rasanya benar-benar puas membaca buku ini. Sebanding dengan harganya walau tanpa diskon. Ha…ha…

Ah…jadi pengen ke Belanda…


Classic mom war: Stay at home Mom VS Student Mom?

Satu bahan perenungan saya setelah membaca buku ini. Saya mengenal 2 tipe teman. Ada yang tipe Stay at home Mom seperti saya, ada yang tipe Student Mom atau Working Mom seperti Monika. 
Buku ini membuka wawasan saya betapa Monika bisa menjalankan perannya dengan sangat baik sebagai Student Mom. Sebuah pilihan yang mungkin di permukaan kita menilainya sebagai pilihan yang egois dan hanya mementingkan diri sendiri di atas kepentingan anak dan keluarga. 

Tapi itu tidak terjadi dalam kasus Monika dan keluarga. Saya melihat seorang ibu rumah tangga yang membanggakan korpsnya (korps emak-emak berdaster maksudnya), membanggakan keluarganya, membawa nama almamaternya, mengenalkan nama negaranya, bahkan menjadi agen dakwah bagi agamanya. 

Saya suka membaca bagaimana celoteh Runa di pagi hari: “Ayah kantor…Bunda kampus…Runa kolah….” (hal 216)

Ini yang membuat kasus Monika berbeda. Ketika anak dan keluarganya ikhlas mendukung peran seorang ibu, maka di situ bukan namanya egois. Monika tidak meninggalkan anak yang menangis meraung-raung di tinggal ibunya, atau suami yang cemberut karena tidak ada makanan yang bisa di makan sebelum ke kantor. Namun ada anak dan suami yang senang dengan pilihannya dan mendukungnya sepenuh hati. Apalagi jika dilihat awal keinginan sekolah ini, memang didukung Mas Fajar, sang suami yang sebelumnya memang pernah kuliah di Groningen. Pastinya menjadi sangat membantu meringankan pilihan hidup seorang Monika. 

Berbeda kasusnya ketika seorang ibu memaksakan keinginannya sendiri untuk sekolah atau bekerja. Atau sebaliknya tidak sekolah atau tidak bekerja. Ketika sebuah keputusan diambil berdasarkan pertimbangan matang anggota keluarga, maka hasilnya akan terasa lebih bermakna. Perlu kejelian dari pasangan untuk berdiskusi dan saling memberi masukan, apa yang terbaik bagi keluarga mereka. Salut untuk Monika dan Fajar.

Hal lain yang saya catat dari buku ini adalah: pentingnya menulis catatan harian. Untung seorang Monika Oktora rajin mencatat pengalamannya. Sebelumnya Monika memang ODOPers - One Day One Post - yang rajin menulis di blognya Monikaoktora.com

Baca juga: Kulwap #ODOPfor99days bersama Monika Oktora tentang behind the scene buku Groningen Moms Journal.

Siapa sangka pengalaman itu bisa bermanfaat bagi banyak orang ketika dibukukan. 

Ah saya kok jadi tidak sabar menunggu hadirnya Groningen Mom's Journal 2 yang mungkin akan bercerita pengalaman Monika di Belanda sekaligus meraih PhD dengan 2 anak. Ayo Mon, buktikan kalau kamu bisa!!!

Setelah menamatkan buku ini, saya jadi mengerti sekali kenapa buku ini bisa bertengger di rak bestseller Gramedia. Kamu belum baca? Segera baca ya, biar bisa ikutan jalan-jalan ke Groningen bersama Monika. Walau cuma dalam tulisan.


Deskripsi buku Groningen Moms Journal Monika Oktora

Shanty Dewi Arifin
Shanty Dewi Arifin Mama yang sedang semangat belajar menulis demi bisa bayar zakat sendiri.

Posting Komentar untuk "Mengapa saya suka Groningen Mom’s Journal-nya Monika Oktora"